Aku, hancur dalam kebimbangan.
Ketidakpastian. Dan kesalahan. Waktu semakin larut. Rupa mulai memudar. Namun
hati tetap tak menerima kepuasan.
Putra, itulah namaku. Seorang remaja
egois yang menikmati hidup semaunya, mempermainkan wanita hanya demi kepuasan. Hidupku hanya untukku, itulah kata-kata
yang slalu membimbing hari-hariku. Namun sebuah kejadian mengubah sikapku, aku
berubah menjadi seorang lelaki yang hidup hanya untuk mencari uang. Bukan karena
aku matrealistis, tapi lebih karena untuk menghilangkan kekecewaanku. Kehilangan
seseorang yang dicintai karena ketidak beranianku untuk meyakinkan wanita itu.
Ya, wanita itu menerima pinangan pria lain. Menerima, ketika aku meminta wanita
itu untuk menunggu pinanganku. Meski awalnya berjanji menunggu, namun akhirnya
wanita itu luluh oleh pinangan pria dari masa lalunya.
Bukan tanpa sebab wanita itu memilih
pria lain. Semua berkat ketidak puasaanku. Aku yang selalu saja hidup dalam
kenangan masa lalu, tak pernah puas akan cinta yang ia berikan. Sebuah kutukan,
atau mungkin karena cinta dari masa laluku yang membuat aku tak bisa
melupakannya. Terlalu sering aku menyakitinya, terlalu sering aku mendua di
depan matanya demi mendapat kepuasan. Tapi dia tidak pernah berusaha untuk
pergi dariku, meski aku tahu sebenarnya hatinya lelah.
Kini hari-hariku dihabiskan untuk
mencari lembar-lembar rupiah. Sore hingga malam sepulang kuliah aku habiskan
bekerja sebagai pelayan di sebuah cafe. Sedangkan akhir pekan aku habiskan
untuk bekerja part time sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan. Meski
uang yang aku dapatkan hanya aku kumpulkan, tidak tau untuk kugunakan apa. Lama
kelamaan kesibukanku mulai mengalihkanku dari keluarga dan sahabat. Aku mulai
mengasing diri dari lingkungan, hidup dengan melakukan list kegiatan yang sama
setiap hari.
Satu hari dalam perjalanan pulang dari
pekerjaan, aku bertemu seorang wanita. Wanita yang dengan tubuh sedangku aku selamatkan
dari gerombolan pengangguran dengan mulut sesak dengan dosa. Meski pelipis
sobek oleh hantaman botol minuman keras, namun sepertinya itu sebanding dengan
apa yang aku alami bersama wanita itu kemudian. Ya, sejak saat itu hubungan
kami semakin dekat. Dimulai dari ucapan terima kasih dan saling bertukar nomor
telfon, berlanjut dengan pertemuan yang rasionya bisa dibilang cukup bahkan
sangat sering, karena ternyata kami satu kampus namun beda jurusan. Namanya
adalah Dinda, mahasiswi jurusan seni musik. Kulit putih namun tidak pucat
menghias di sekujur tubuhnya, rambutnya yang agak kecoklatan terurai hingga
sebatas buah dada. Bibir tipis merah muda berpadu dengan lesung pipi yang
menghias di kala ia tersenyum. Tubuhnya yang tinggi langsing membuat setiap
pria yang melihatnya akan menelan ludah dan diam membatu tanpa sempat
menanyakan namanya.
Hari demi hari kini aku lalui dengan
bersamanya atau sekedar dengan pesan singkat dan telfon darinya. Akupun mulai
merasakan getar-getar rindu yang mulai mekar menjadi cinta. Sedikit demi
sedikit luka akan masa lalu mulai larut dalam senyumannya.
Lima bulan sudah aku jalani hariku
bersamanya, tak terasa hubungan pertemanan kami semakin bahkan mulai sangat
dekat. Aku mulai mengenal keluarganya. Bahkan Tio adiknya sudah sangat dekat
denganku melebihi kedekatannya dengan Dinda. Bagai sepasang kekasih yang
dimabuk kehangatan di hati. Kami sering menghabiskan waktu berdua untuk sekedar
nonton atau makan malam di luar. Tanpa sadar malam minggupun slalu kami
habiskan berdua. Namun kami menjalaninya tanpa sebuah pengukuhan bahwa kami
sepasang kekasih. Aku pikir aku nyaman dengan dia, dan dia juga slalu bilang
nyaman bersamaku. Jadi yasudah, kami jalani hubungan ini tanpa perlu ada sebuah
status yang mesti diperjelas diantara kami.
Ndut hari ini kamu kerja ga ?.
Ucapnya dalam bentuk pesan singkat.
Enggak, kenapa gitu ?
Oh engga. Aku mau ngajak kamu maen sama temen aku,
ikut ya ?
Maen kemana ?
Udah ikut aja. Nanti juga tau sendiri kok hehe
Hm dasar, yaudah hayu.
Hehe, ntar ke rumah aku jam setengah lima ya.
Ya.
Sesuai janji akupun ke rumahnya tepat
pukul empat tiga puluh. Rumah wanita yang mengalihkanku dari kesibukanku. Rumah
wanita yang meredam luka lama di hatiku. Belum selesai aku parkirkan motor
matic biru kesayanganku. Aku langsung disambut Tio adik lelakinya yang berusia
4 tahun.
“ooom
putlaaaaaa, kemana ajaaaa. Jalang ke lumah, aku kan kangen”
“haha maaf ya,
omnya sibuk. Udah makan belum kamu ?”
“udah tadi sama
lendang sama kelupuk disuapin kak dinda”
“oh ka dindanya
mana sekarang ?”
“tuh ada di
kamal, dali tadi dandan telus mentang-mentang om putla mau kesini”
“oh ya haha”
“eh ada putra,
silahkan masuk, tunggu dulu Dindanya masih di kamar” ucap ibu dinda yang keluar
dari pintu samping garasi.
“eh iya bu
makasih”
Setengah jam aku menunggu, akhirnya
dinda keluar dari kamarnya. Kulihat ia mengenakan baju putih polos berbalut
jaket jeans dipadu dengan rok hitam selutut. Melangkah dengan senyum khas
terukir di wajahnya.
“hei kok
bengong”
“eh maaf”
“udah siap ?
berangkat yuk udah ditunggu”
“yuk”
Akupun mulai memacu motorku sesuai
arah yang ditunjukkan oleh Dinda. Akhirnya setelah satu setengah jam kami
sampai di sebuah villa yang cukup megah. Kulihat beberapa mobil dan motor sport
terpakir, sepertinya hanya aku yang menggunakan motor matic saat itu. Kamipun
melangkah ke halaman belakang villa tersebut. Ternyata malam itu ada sebuah
acara seperti sebuah pesta yang diadakan teman sekelas Dinda untuk mempererat
silaturahmi.
“yuk kesini”
Dinda pun menarik lenganku ke sebuah
tempat dimana terdapat tiga orang wanita sedang berbincang.
“haai
geeeeeeeng” sapa Dinda.
“hei Dinda,
kemana ajaaa. Kok baru datang ?” tanya seorang wanita bertubuh agak gemuk.
“iyaaa, kita
udah nunggu daritadi” tambah seorang wanita dengan kulit agak kecoklatan yang
mengenakan jaket putih.
“eh maaf yaaa,
biasalah macet hehe” jawab dinda.
“macet apa
maceeeet haha. Loh kamu sama siapa ?” tanya wanita bertubuh gemuk tadi sembari
melihat ke arahku.
“oh ya kenalin
ini putra, siniii nduuuut” sambil menarikku yang membeku diterpa angin malam.
“hai aku andin”
ucap wanita bertubuh gemuk.
“hai. putra”
sambil menjabat tanganya.
“aku ria” ucap
wanita yang mengenakan kacamata.
“hai. putra” kemudian
menjabat tangannya.
“hai aku dini”
ucap wanita berkulit coklat.
“hai. putra”
menjabat tangannya.
Kemudian tanpa aba-aba mereka mulai
bercuap-cuap, membicarakan segalanya. Dari masalah kuliah, teman, hingga pacar.
Sesekali Dinda digoda temannya, karena mereka mengira aku adalah pacarnya.
Sedangkan aku, hanya asik memakan kue yang berada di meja tepat disebelahku.
Akhirnya obrolan panjang mereka
terputus oleh sambutan pembawa acara. Tanpa panjang lebar acara malam itu
dimulai. Dari acara pemutaran video dokumenter kelas, games, penampilan band
kelas hingga acara puncak, ucapan terima kasih dan pemberian cinderamata dari
teman sekelas Dinda kepada dosen pembimbing dan beberapa pengurus kelas.
Selama kurang lebih lima jam acara itu
berlangsung, selama lima jam pula Dinda memeluk lenganku erat. Meski
perbincangan dan perhatiannya bersama teman-temannya, namun pelukannya tak
pernah lepas dari lenganku, malah semakin erat. Pukul dua belas malam acara
selesai, namun tak ada satupun dari mereka disitu beranjak pulang. Sepertinya
mereka memutuskan untuk menghabiskan malam disana. Beberapa diantara mereka ada
yang berduaan di dekat api unggun dengan pasangannya, sedangkan lainnya ada
yang mulai menyalakan kembang api atau hanya sekedar memainkan beberapa putar
lagu. Aku sendiri coba membaur dengan beberapa teman pria Dinda yang sedang
bermain kartu.
“nduut” panggil
Dinda.
“apa ?”
”lagi apa ?”
“lagi maen
kartu, kenapa ?”
“ikut dulu yuk”
“kemana ?”
“udah ikut ajaa”
sembari langsung menarik lenganku.
Kemudian dia mengajakku masuk ke villa
dan langsung menuju lantai dua. Kamipun duduk di sebuah bangku yang menghadap
langsung ke halaman belakang villa. Tanpa sepatah kata dia langsung memeluk
lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Sesaat dia terdiam dalam posisi
tersebut, sedang aku hanya membatu seperti patung tua yang tak bisa melakukan
apa-apa.
“ndut” ucapnya
menghempas keheningan diantara kami.
“apa ?”
“ga kerasa ya udah
lima bulan ini kita deket”
“yap”
“aku masih ga
nyangka pertemuan kita melalui perantara berandalan haha”
“iya ya, aku
juga ga nyangka”
“kamu tahu,
sejak kejadian malam itu aku ga pernah berhenti mikirin kamu. Aku sendiri gatau
kenapa, awalnya aku pikir cuman kekaguman karna kamu udah nolong aku. tapi lama
kelamaan rasa kagum itu mulai hilang, aku mulai lupa kejadian waktu malam itu.
tapi gatau kenapa getaran di hati aku malah makin kenceng. Aku sendiri kadang
suka senyum-senyum sendiri kalo inget kamu. apalagi kalo liat tingkah kamu yang
polos. Ngegemesin haha ”
“hmm gombal”
ucapku.
“ih tuh da kamu
mah ya, diajak ngobrol serius slalu aja gini. Nyebelin dasar” gerutunya sambil
mencubit perutku yang sedikit berlemak.
“eh iyaya maaf”
“hm dasar, nduut
aku mau nanya ?”
“apaan ?”
“perasaan kamu
ke aku tuh gimana sih ?”
“perasaan ?”
“iyaaaa kamu tuh
suka ga sih sama aku.”
“aku ga suka
sama kamu”
“ha ? .......oh”
“tapi aku cinta
sama kamu”
“gombaaaaaaaaaaaal
haha” sambil kembali mencubitku, namun kini pipiku yang menjadi sasarannya.
Terlihat mukanya mulai memerah dengan senyum yang mulai melebar di bibirnya.
“eh iyaa beneer”
“hehe, dasar
kamu iiiih.”
“kenapa ?”
“engga ah. hei”
“apa ?”
“kalo kamu suka
aku kenapa kamu ga nembak aku ? padahal aku udah mancing-mancing”
“iya gitu ? masa
ah ? kok aku gatau”
“iyaaa iiiih
seriiiiing malah, kayak waktu dulu pas di taman, trus aku bilang enaknya kalo
punya pacar. Trus kamu cuman jawab hm”
“oh”
“tuh da kamu
mah, dasaaaaaaar” kembali mencubit pipiku.
“ih iyaya udaah”
“hm. Emangnya
kamu gamau gitu meresmikan hubungan kita ?”
“ngeresmiin ?
maksudnya ?”
“iyaaa kita
pacaran ?”
“pacaran ? emang
harus ya ?”
“iiih emang kamu
ga takut gitu aku pacaran sama orang lain. Trus kita ga bisa berduaan lagi
kayak gini”
“engga tuh”
“tapi aku takut”
“ya kamu jangan
pacaran sama orang lain”
“iiiih bukan
ituuu, aku takut kamu pacaran sama orang lain”
“aku sudah bukan
pria yang mudah tergoda oleh wanita”
“tapi tetep aja
aku takut.”
Suasana kembali hening, dia kembali
dalam kebisuannya. Sedang akupun kembali mematung. Sejujurnya aku sangat ingin
menjadi seseorang yang slalu di sampingnya, dengan sebuah status yang jelas.
Bukan menggantung seperti ini. Berkali-kali akupun mencoba mengutarakan untaian kata yang sudah
menjejal di hatiku. Namun semua slalu saja tersumbat di lidahku. Dia gadis baik, aku tak pantas memilikinya.
Aku hanya akan melukainya. Tapi aku mencintainya, aku sudah bukan yang dulu.
Aku pasti bisa mencintainya. Tapi apa aku bisa mencintainya jika masa laluku
kembali padaku, apa aku bisa. Tapi tidak mungkin masa laluku akan kembali
padaku. Dia akan membuat komitmen dalam sebuah ikatan berdasarkan agama. Dia
tidak mungkin akan kembali. Bagaimana dengan masa lalu yang lain, apa kau yakin
mereka tak akan kembali. Semua perdebatan itu slalu berkecamuk dalam
diriku. Hatiku menginginkannya, namun pikiranku takut menyakitinya.
Lama tak kunjung bersuara, ternyata dia
telah lelap dalam tidurnya. Pelan aku sandarkan kepalanya di pangkuanku. Kubuka
jaketku dan kuselimuti bagian tubuhnya yang tak tertutupi. Pagi menjelang,
mentari dengan angkuh mulai melenyapkan tiap sudut kegelapan.
“makasih ya udah
mau nemenin aku kemaren”
“iya sama-sama.
Aku pulang ya”
“iya hati-hati
ya ndut daaah”
Sedikit demi sedikit aku mulai
menghilangkan bayangan punggungku dari padangannya. Aku terlalu mencintaimu untuk menyakitimu. Itulah pesan terakhir
yang kukirimkan padanya. Tanpa menunggu balasan aku patahkan sim cardku dan
kuganti dengan yang baru. Pelan namun pasti aku mulai menghilangkan jejakku
dari hidupnya, sesekali berpapasan namun aku slalu menghindar. Sebulan berlalu.
Aku mulai kembali ke list kehidupanku, sedangkan dia kulihat sudah menemukan
pria lain penggantiku. Di satu sisi aku senang dia tak terlarut dalam
kepergianku. Namun di satu sisi aku sangat ingin kembali di sisinya.
No comments:
Post a Comment