Hari ini adalah awal aku memasuki masa dimana mungkin menurut kalian itu adalah masa terindah dalam hidup kalian, yaitu masa SMA. Namun akupun tidak bisa memungkirinya, ya memang masa itu adalah masa terindah, masa dimana untuk pertama kalinya aku jatuh cinta, masa dimana aku kembali merasakan hangatnya tawa dari seorang wanita. Ya meskipun sudah tiga tahun aku hidup bersama keluarga baruku yang benar-benar menganggap dan mencintaiku seperti anaknya sendiri. Aku masih saja dalam kemurunganku, mengingat masa lalu yang masih saja mengendap dan mengoceh di pikiranku.
“ayo cepat masuk dan berbaris, yang rapih. Kalian tau rapih tidak. Ga punya otak kalian semua. Dasar otak udang” teriak salah satu senior bertubuh besar, gendut lebih tepatnya berkulit coklat tua, lebih ke hitam tepatnya..
“yasudah malika, sudah waktunya masuk. Ayah dan ibu hanya bisa mengantarkan sampai gerbang saja. Percayalah kau pasti akan melewati masa SMA semudah kau melewati titian jembatan diatas sungai yang dangkal. Nanti pulangnya mang akhmad yang akan menjemputmu” ucap ayahku menyemangatiku.
“baik-baik ya sayang, kalau ada apa-apa bilang saja biar kami yang mengurus, oh ya jangan lupa makan bekalmu dan kalau masih kurang ibu sudah memasukan uang di dompetmu, dan kalau masih kurang ambil saja di ATM kamu ya sayaang” ucap ibuku penuh perhatian sembari mencium keningku.
Ya mereka adalah keluarga terbaik di semesta alam menurutku, aku sangat beruntung bisa bersama mereka. Dan akupun telah berjanji pada diriku sendiri, aku akan melindungi dan membahagiakan mereka meskipun harus mengorbankan nyawa.
§
Namaku adalah malika putra agata. Itu adalah nama pemberian ayah angkatku, aku sendiri tidak tahu siapa namaku ketika lahir. Ibuku meninggalkanku begitu saja tidak lama setelah melahirkanku, kemudian aku dipungut oleh seorang preman dan dijualnya aku kepada seorang pria. Dirawatnya aku oleh pria itu selama tiga tahun, mungkin lebih tepatnya dirawat untuk dipekerjakan. Hingga akhirnya aku dijual kepada seorang ilmuwan muda yang tidak waras. Dia menjejaliku dengan puluhan buku tiap harinya selama sepuluh tahun hanya untuk dipekerjakannya aku sebagai pembantu untuk membuat sebuah mesin. Singkat cerita dengan suatu cara serta bantuan seseorang aku berhasil kabur dari penjara si ilmuwan muda tersebut dan terdampar di suatu hutan. Entah aku tidak tahu dimana itu. cukup lama aku tinggal dihutan itu mungkin sebulan. Aku hidup dengan memakan tumbuh-tumbuhan dan binatang yang ada di sana. Hingga akhirnya datang seorang pria bersama beberapa orang penjelajah sewaan menyelamatku, katanya dia berkali-kali mendapatkan mimpi untuk pergi ke hutan tersebut. Dan akhirnya dia menemukanku dan mengadopsiku . Takdir tuhan... itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kejadian itu.
§
Memasuki gerbang sekolah, langsung aku disambut oleh senior bertubuh besar seperti seorang pemain basket dengan muka garang. Dengan cepat dia menarikku dan menyeretku untuk masuk ke dalam barisan. Sekitar setengah jam aku duduk dalam barisan, kulihat beberapa siswa dan siswi yang datang terlambat mereka dimarahi, dicaci, bahkan beberapa terkena tamparan. Ketika murid lain yang melihatnya menundukkan kepala merasa ketakutan. Aku hanya memandang ke arah langit yang begitu cerah, aku lihat beberapa burung gereja berterbangan, mataharinya tidak begitu terik dengan ditutupi beberapa awan sehingga cuaca terasa sejuk di tubuhku.
“hei apa yang kamu lihat, fokus dengan apa yang dikatakan pembina di depan” bentak seorang senior.
Aku hanya diam. Tidak mempedulikan perkataannya.
“kamu tuli, bisu atau bego dasar keledai” bentaknya kembali.
“sudahlah biarkan saja, kasian kan” bujuk seorang senior wanita. Kulitnya putih namun tidak pucat, bibirnya merah muda, rambut terurai panjang hingga sedikit dibawah punggung.
Namun aku tetap saja acuh terhadap apa yang diperintahkan senior tersebut, meskipun acuh aku tetap bisa memahami apa yang dikatakan oleh si senior dan pembina di depan atau bahkan murid-murid dan senior-senior lain yang hanya bergumam saja.
Ada yang mengatakan aku autis, ada yang mengatakan aku bisu, ada yang mengatakan aku punya kelainan, dan ada juga yang mengatakan aku seperti orang jenius. Ya aku tidak terlalu peduli apa yang dikatakan orang tentang aku. Aku memang dianugerahi bakat yang luar biasa. aku bisa mendengar suara sekecil apapun. Bahkan suara derap langkah semut yang melangkah dengan sembunyi-sembunyi aku bisa mendengarnya jelas.
Hari itu berlalu begitu saja, seperti air mengalir melintas sungai dari hulu ke muara. Dibumbui oleh teriakan senior dan tangisan junior.
Mas. Mang akhmad lagi di bengkel, Mobilnya mogok. Maaf kayaknya mang akhmad bakalan telat jemput mas. Jadi tunggu sebentar ya. Ucap mang akhmad dalam sms.
Iya mang. Jawabku singkat.
Kemudian akupun menunggu di halte tidak jauh dari sekolah. Aku mengeluarkan buku gambar ukuran A4 lalu akupun mulai menuangkan imajinasi. Alunan pensilku menari-nari di atas kertas putih tersebut. Cukup lama aku menggambar. Hujan pun turun, beberapa orang di halte tersebut pun sudah pergi hingga tersisa aku sendiri ditemani dendang gemericik hujan.
“gambarmu bagus” ucap seseorang disampingku.
Aku tersentak, lalu aku menoleh. Tiba-tiba bibirku terasa kelu, lidahku beku dan tubuhku membatu. Namun anehnya dadaku terasa bergemuruh seperti 1000 pasukan berkuda yang menyerang di keheningan malam. Sesosok bidadari hadir dihadapanku, berkulit kecoklatan dengan rambut terurai hingga sebatas dada. Senyum tipis merah hati dipadu dengan lesung pipi yang begitu menyejukkan di hati. Matanya menyiratkan keanggunan dan kedewasaan seorang gadis.
“kenapa ?” gadis itu bertanya, menyunggingkan bibirnya sembari menatap mataku dalam.
Aku masih tetap saja terdiam mematung. Tiba-tiba keluar cairan merah dari hidungku, begitu banyak hingga cukup untuk membasahi sebagian dari baju dan buku gambarku. Cukup aneh memang namun itulah kenyataannya. Akupun bingung kenapa itu terjadi.
“idung kamu, itu kenapa idung kamu ? kamu gapapa? Ih itu darahnya keluar terus. Hei kamu kenapa ? jangan diem terus iiih” tanyanya dengan terkejut bercampur gelisah.
Tetap saja aku masih mematung dengan dada yang bergertar semakin kencang.
“hei kamu kenapa ? iiih jawab dooong jangan diem teruuus” tanyanya kembali sambil mengguncang-guncang badanku.
Dan tiba-tiba. JEDUG !!! kepala belakangku membentur tiang penyangga atap halte tersebut. Kepalaku pun berdarah.
“eh maaaf, yaaaa berdarah. aaaah” teriak wanita tersebut panik. Terlihat mukanya mulai stres. Lalu dia melepaskan tangannya.
Dan lagi. JEDUG !!! aku tersungkur dan kembali kepala bagian depanku membentur lantai keramik halte dan berdarah kembali.
“aaaaaaaah maaaaaaaaaaaf, yaaaa berdarah lagiii, ya tuhaaaaaan ada apa dengan orang iniiiiiiiiiii.” Teriaknya semakin menjadi namun tak ada yang mendengarkan karena jalanan mulai sepi dan derasnya hujan seakan mengecilkan suara teriakannya.
Kemudian dia coba membangunkanku,dan tak sengaja tanganku mendarat di pahanya yang saat itu mengenakan seragam sekolah dengan rok diatas lutut. Refleks entah darimana, tangankupun mulai mengelus-ngelus pahanya dengan senyum muka cabul seperti ketika sanji dalam komik one piece melihat para putri duyung di pulau manusia ikan.
“iiiiih dasaaaar cabuuuuuuuuul” gadis itu menyadari apa yang kulakukan dan menamparku hingga aku tersungkur kembali.
Daaaaan. JEDUG !!! kepalaku terbentur kembali hingga darah bertambah banyak keluar dari kepalaku. Jika orang biasa mungkin hal ini dapat menyebabkan kematian karena banyaknya darah yang hilang. Tapi aku bukanlah orang seperti itu. Aneh........ yaitulah aku.
“aaaaaah berdarah lagiiiiii, maaaaaaaaaf ” kembali panik namun bercampur bingung dan marah.
“kenapa neng ? astagfirllah mas malik ? ini kenapa neng bisa kayak gini ?” tanya mang akhmad ke gadis tersebut.
“gatau mang, pas aku tanya tiba-tiba diem, trus keluar darah dari idung, trus kejedug tiga kali kepalanyaaaaa” jawab gadis itu sambil menangis. Entah karena kasihan, bingung atau takut.
“ yaudah bantuin mang bawain tasnya kedalam mobil” perintah mang akhmad kepada gadis itu.
Tiba-tiba pandanganku mulai kabur, setengah bangun setengah tertidur aku dibopong ke dalam rumah sakit oleh mang akhmad. Terakhir yang kuingat hanyalah kata “maaf maaaf maaaaaaf” yang diucapkan gadis itu kepadaku.
§
Satu pagi aku terbangun dengan perban melilit di hampir separuh bagian kepalaku. Dengan langkah gontai aku keluar dari kamarku, kulihat orang-orang berpakaian putih lalu lalang, pria wanita. Ah apakah aku sudah mati ? apakah aku sekarang di surga ? pikiranku mulai melantur mengawang di udara.
“de, sedang apa disini ? kata dokter kamu belum boleh keluar, ayo masuk lagi.” kata seorang wanita muda yang ternyata seorang suster. Aku belum mati.
“oh iyaya” jawabku singkat.
“sekarang buka bajunya” perintah suster.
Aku terdiam, gemetar, takut dan bingung bercampur aduk. Apa dia akan melakukan pelecehan seksual kepada bocah manis seperti saya ? atau dia akan memotoku dalam keadaan bugil dan kemudian dia akan mempostingnya di jejaring sosial dengan judul “abg bugil wow !!!”. Bahaya, jika itu terjadi akan kutuntut dia dan meminta perlindungan ke ka seto. Lalu aku akan meminta ganti rugi satu milyar, ah tidak sepuluh milyar.
“ma ma mau apa ?” jawabku gugup.
“ya saya mandikan” jawabnya dengan tenang.
Aku kembali terdiam. Mandikan ? ah aku tahu dia akan memandikanku agar terlihat lebih tampan dan kemudian dia akan mempersilahkan tante-tante suster dan pasien yang ada di rumah sakit itu untuk memperkosaku. Aaah keperjakaanku akan hilang oleh tante-tante. Kemudian aku dikucilkan dari masyarakat dan dibuang oleh keluargaku. Aku yang stres akhirnya menjadi gila dan harus dipasung di sisa hidupku agar tak melukai warga sekitar. Lalu datang orang-orang dari komnas HAM membawaku untuk dirawat di rumah sakit. Dan akhirnya aku meninggal ketika aku bermain lempar jumroh dengan pasien lain. Mengerikaaaan.
“eh kenapa diem aja, ayo cepet buka. Biasanya juga saya kok yang memandikanmu selama seminggu ini. Sudah tidak usah malu saya udah liat kok. Kecil haha” jawabnya sambil tertawa nakal.
Ya tuhaaaan senjata yang selama ini aku bangga-banggakan dan rahasiakan. Terbongkar oleh seorang suster muda. Harga diri ini sudah tercabik-cabik, lebih baik aku mati daripada hidup tanpa harga diri.
“eh diem terus, yasudah kalau tidak mau saya yang mandikan. Nanti suster lain yang memandikan. Tinggal pilih kok haha” ucapnya kembali dengan tawa yang semakin nakal seperti seorang wanita yang nongkrong di pohon besar setiap malam jum’at.
Wajahku memucat, badanku serasa mendingin. Dan tiba-tiba. Ceeeeeeeeeer darah kembali keluar dari hidungku. Aku pingsan kembali.
No comments:
Post a Comment