Malam ini begitu sunyi, langit pun tak semeriah
kemarin. Tak ada kerlip bintang yang menari-nari. Hanya hamparan langit hitam
dengan lingkaran cahaya kecil di arah timur. Waktu menunjukkan pukul sebelas
malam. Seluruh penghuni rumah sudah tidur, termasuk bunny kucing anggora
peliharaan ibuku. Aku sendiri masih terjaga dalam lamunanku. Kesuyian seakan
menggodaku untuk menemaninya malam ini. Cukup lama aku duduk membisu di balkon
lantai dua, hanya secangkir susu panas yang membuatku tak beranjak dari
dinginnya udara malam. Sejenak pikiranku kembali melayang kemasa 16 tahun lalu.
Saat dimana pertama aku dilahirkan, meski samar aku masih bisa mengingat wajah
ibuku yang berlari sembari menangis. Entah sebuah anugerah atau kutukan,
mendapatkan ingatan yang cukup kuat untuk seorang manusia. Begitu menyakitkan
bila memikirkan bagaimana ketika aku ditinggalkan ibuku hanya berselang
beberapa menit ketika aku lahir. Atau ketika aku harus merasakan masa kecilku
dihabiskan dipangkuan seorang tuna susila. Hingga aku harus mengorbankan masa
kecilku dijejali oleh ribuan buku hanya untuk dijadikan budak oleh seorang yang
terobsesi kekuasaan.
Dunia kecilku terasa sangat berbeda dari duniaku
sekarang. Aku seperti hidup di sebuah dunia lain, bukan dunia ini. Namun aku
bingung menjelaskannya. Yang pasti dunia itu sangat berbeda dengan dunia ini.
Suasananya, orang-orangnya, semuanya tak sama. Bahkan sempat aku sampai di
ujung ketidak tahuanku. Aku seperti merasa hidup di dunia mimpi. Aku merasa
semuanya tidak nyata. Bahkan aku sendiri tidak nyata. Semuanya begitu
membingungkan. Apa itu nyata ? apa yang membuat sesuatu nyata ? apa batasan
nyata ? semua pertanyaan itu selalu menjejali pikiranku. Namun tetap berakhir
pada sebuah kebisuan. Kemampuanku tidak sampai untuk menjawab pertanyaan itu.
Tak lama langit hitam pun mulai menitikan air matanya,
semakin lama semkin deras. Entah mengapa akupun terbawa suasana. Dadaku serasa
menyempit, aku kesulitan bernafas. Terasa sangat sesak. Ada sesuatu yang harus
dikeluarkan. Namun tak pernah bisa dikeluarkan. Seandainya bisa, ingin kurobek
dada ini, dan kukeluarkan sesuatu yang menyesakkan ini. Aku sangat membenci
perasaan ini.
Akhirnya aku putuskan masuk ke kamarku dan kututup
rapat-rapat pintu kamarku. Namun suara hujan yang semakain menderas membuat
dadaku semakin sempit dan sesak. Aku tak tahu apa yang kupikirkan. Namun ini
terasa begitu menyebalkan. Aku coba berbaring, lalu kunyalakan musik
sekeras-kerasnya hingga aku tak mendengar suara hujan. Dan akupun terlelap
dalam kebisingan.
No comments:
Post a Comment