Hari ini sekolah usai lebih cepat. Karena guru-guru
mengadakan rapat evaluasi pembelajaran. Tentu saja hal ini disambut dengan
gembira oleh semua siswa. Tak terkecuali teman-teman sekelasku yang langsung
berhamburan keluar. Ada yang karaokean. Ada yang pergi bermain futsal. Ada juga
yang pergi kencan dengan kekasihnya.
“lik
kamu mau ikut futsal ga ?” Tanya piko padaku.
“ah
tidak, aku mau ke toko buku. Ada beberapa komik yang ingin aku beli.”
“ah
jangan baca mulu. Olahraga sekali-kali.” Balas piko mencoba merayuku.
“tiap
hari juga olahraga. Jogging tiap sore” jawabku dengan nada datar.
“tapi
kan futsal beda sama jogging. Lebih menyenangkan dan lebih rame” bujuk piko
yang semakin keras berusaha mengajakku.
“lain
kali saja” jawabku singkat.
“hm
yasudah, aku pergi duluan ya. Hati-hati kau” jawab piko kecewa.
“yap”
Sebenarnya aku sangat ingin bermain
futsal. Namun aku sudah merencanakan kegiatan hari ini sejak seminggu yang lalu.
Jadi mau tidak mau aku harus melakukannya. Tak lama setelah piko pergi, datang
rida dengan senyum nakalnya. Sedang aira terlihat mengikuti malu di
belakangnya.
“malik,
aira mau ngomong nih.” Ucap rida.
“apa
?” tanyaku sembari memasukkan buku ke dalam tas.
“e..
itu” ucap aira gugup.
“hm”
gumamku.
“kamu
ada acara ga hari ini ?”
“ada.
Kenapa gitu ?”
“oh
engga cuman nanya aja. Yaudah ya”
“eh.
Aira ? ” ucap rida yang bengong oleh ucapan aira.
“oh
yaudah” jawabku singkat.
“eh.
Engga gini malik. Rida seb..” belum sempat menyelesaikan ucapannya, mulutnya
ditutup aira.
“udah
kapan-kapan aja” ucap aira.
“kenapa
?” Tanya rida heran.
“ga
kenapa-kenapa” jawab aira dengan muka yang memohon untuk tidak melanjutkan
percakapan ini.
“euh
yasudah. Dah malik” ucap rida.
“yap”
Merekapun pergi sembari berbisik. Terdengar
bahwa rida memarahi aira karena tidak berani mengajakku berkencan hanya karena
mendengar bahwa aku mempunyai acara sendiri. Namun aira membela bahwa ia tidak
ingin membuatku terganggu hanya karena keinginannya. Aira memang gadis yang
manis, cantik dan baik. Namun dia terlalu pemalu. Aku bukannya tidak suka
dengan wanita pemalu, tetapi akan lebih menyenangkan bila bersama wanita yang
aktif. Mereka cenderung tahu apa saja hal yang bisa membuat hidupku lebih berwarna.
Contohnya seperti ibuku yang seperti ratu di rumahku. Mengatur setiap hal yang
bahkan tidak aku pikirkan sebelumnya. Seperti membuat acara makan lesehan di
depan rumah dengan tetangga. Atau hari lingkungan. Dimana pada hari itu, ibu
mengajak seluruh tetangga untuk menanam dan merawat tanaman dan bunga-bunga di
sekitar komplek. Meskipun termasuk orang yang sibuk, ibuku selalu menyediakan
waktu untuk lingkungan dan keluarga. Itulah mengapa ibuku menjadi terkenal di
sekitar komplek. Dan akhirnya ibu dihormati tanpa harus berlaga sebagai
penguasa.
Tidak sampai 30 menit, sekolah sudah
sepi. Bahkan diparkiran pun hanya tertinggal beberapa motor yang sepertinya
motor milik guru-guru dan staff. Ketika aku akan menyalakan motor. Tiba-tiba
hujan turun, awalnya kecil lama-kelamaan semakin deras. Memang sedari pagi
cuaca sudah mendung. Namun aku pikir jika sudah siang cuaca akan cerah. Aku
yang hari ini akan membeli buku meminta mang akhmad untuk tidak menjemputku.
Gantinya aku membawa motor sendiri. Awalnya memang tidak diijinkan oleh orang
tuaku. Mengingat bahwa aku bukan penghapal jalan yang baik. Jika hanya untuk
pulang-pergi sekolah, orang tuaku pasti akan mengijinkan. Namun jika untuk
berpergian mereka sedikit was-was.
Pernah suatu
waktu ketika aku pergi untuk membeli handphone. Aku tersesat, tidak tahu jalan
pulang. Daerah tersebut begitu asing diingatanku. Berjam-jam aku berputar-putar
namun tidak berhasil menemukan jalan pulang. Hingga akhirnya aku terpaksa
meminta bantuan pak polisi untuk mengantarkanku pulang. Di rumah, seluruh
penghuni begitu panik. Mang akhmad berputar-putar di daerah dekat komplek mencari
aku. Sedangkan bi sum tak henti-hentinya menguatkan ibuku yang menangis. Sedang
ayahku pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kehilanganku. Memang saat itu
aku tidak bisa dihubungi, aku lupa untuk menyalakan hp baruku.
Sejak kejadian itu, ibuku semakin protect kepadaku. Aku sendiri tidak
keberatan, toh perlindungannya masih dalam batas wajar. Malah aku sangat
mensyukuri. Mengingat bahwa dia begitu menyayangiku meski aku anak angkatnya. Aku
merasa seperti anak kandungnya.
Aku mengurungkan niatku pulang saat
itu. Lebih baik aku menunggu hujan reda. Sejenak aku duduk di motorku sembari
melihat bulir air yang jatuh dari atap parkiran motor. Begitu deras dan
menghanyutkan. Hujan seperti sebuah sihir. Membawa pengamatnya menerawang jauh
ke masa lalu. Entah itu bahagia atau menyedihkan. Hujan akan mematungkan raga
seseorang dan menarik pikirannya. Namun kebisuanku saat itu terusik oleh
seorang wanita yang berlari keluar dari lorong sekolah menuju parkiran. Ekspresi
wajahnya yang datar tiba-tiba menyunggingkan senyuman ketika melihatku. Sekejap
saja wanita itu berdiri di hadapanku.
“hujannya
gede ya” ucapnya.
Dia rifa. Senyum tipisnya seakan
mengabaikan rambut dan bajunya yang basah terkena air hujan. Wajahnya yang
tertetes air hujan mengilaukan sebuah kecantikan.
“hei
kok bengong ?” tanyanya sambil mendorong wajahnya menatap wajahku lebih dekat.
“hei
kamu gapapa ?” tanyanya mulai panik melihat aku yang tak bergeming.
“heeeeeei”
kini dia mulai menguncang-guncangkan badanku.
“eh iyaya. Kenapa ?” tanyaku.
“kirain
kamu mati. Bikin kaget aja” ucap rifa sembari tertawa kecil.
“masa
mati sambil duduk dan melotot ?” balasku.
“kok
belum pulang ?” tanyanya.
“kan
hujan ?”
“ya
maksudnya kan waktu pulang udah hamper sejam yang lalu. Kenapa kamu masih
disini ?”
“oh
tadi aku ke perpustakaan dulu. Ngembaliin buku. Kamu sendiri kenapa belum
pulang ?”
“oh
kalo aku tadi disuruh wali kelas bantuin bikin laporan presensi dulu.”
“hm”
Seperti sebuah keharusan, setiap
kali bertemu dengannya akan ada waktu dimana aku dan dia mebisu seperti saat
ini. Aku terdiam memandang air hujan. Sedang ia mulai menyenderkan badannya
dimotorku sembari menunduk seperti menikmati alunan sang hujan. Lama kelamaan
tatapanku mengalih ke wajahnya yang manis. Rambutnya yang basah. Leher jenjangnya.
Pipinya yang merona. Bibirnya yang tipis. Ada sesuatu yang beda dari gadis ini.
Ia memiliki aura yang membuatku tenggelam dalam pesonanya.
“hujan
itu menyedihkan ya ?” ucapnya memecah keheningan. Namun kepalanya masih tetap
tertunduk.
“ha
? maksudnya ?” tanyaku yang kebingungan.
“ya
dia menyedihkan. Apa kau pernah merasa hujan selalu membawa kenangan.”
“ya”
“hujan
seperti terlahir dari masa lalu. Ia juga seperti mengingatkan bahwa manusia
mempunyai masa lalu yang tak seharusnya dilupakan. Entah itu bahagia atau…”
“...menyedihkan.
Hujan akan mematungkan raga seseorang dan menarik pikirannya.” ucapku memotong
ucapannya.
Ia memandangku takjub. Ia tak pernah
berpikir ucapanku akan sama dengan apa yang ia pikirkan.
“kenapa
?” tanyaku melihatnya memandangku dengan mulu mengatup.
“oh
engga” jawabnya lalu memalingkan mukanya. Terlihat pipinya semakin merona.
Perlahan langit mulai meredakan
hujan. Mentari mulai hadir disela-sela awan yang mulai memutih kehabisan air.
“hujannya
udah reda. Aku pulang dulu ya.” Ucap rifa padaku sembari melangkah pergi.
“rifa”
panggilku sebelum ia semakin menjauh.
“iya
apa ?” tanyanya.
“apa
kau ada waktu luang hari ini ?”
“hmm.
Kayaknya engga deh. Aku harus les. Tapi sabtu ini mungkin kosong. Kalau kau mau
mengajakku kencan. Aku tunggu kamu jam empat di halte tempat pertama kita
ketemu.” Ucapnya seperti tahu apa maksudku.
Aku hanya termangu mendengar
ucapannya. Namun aku tersenyum secepatnya menandakan aku senang dengan
ajakannya. Lalu ia pun perlahan melangkah pergi.
“hei
no telfon kamu berapa ?” tanyaku. Namun ia sudah terlanjur jauh meninggalkan
gerbang sekolah.
Lekas aku menyalakan motor dan
mengejarnya. Namun terlambat. Aku melihat ia pergi menaiki mobil biru yang
biasa menjemputnya. Ah mungkin lain kali. Aku pun bergegas pergi ke toko buku
dan lekas pulang hanya untuk mengingat apa yang terjadi di parkiran tadi. Dia benar-benar
gadis manis. Dan aku mencintainya.
No comments:
Post a Comment