Monday, March 4, 2013

analisis semiotik pada puisi sisa senja karya soni farid maulana



TEORI SEMIOTIK
Rachmat Djoko Pradopo (2009:121) mengatakan bahwa bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat sebelum dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa; sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa) atau ditentukan oleh konvensi masyarakat. Lambang-lambang atau tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian masyarakat). Sistem ketandaan itu disebut semiotik.
Ferdinand De Saussure berpendapat bahwa tanda merupakan gabungan antara penanda dan petanda. Penanda (signifiant) adalah citra akustis, sedangkan petanda (signifie) adalah konsep. Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno, (Masinambow 2002: iii). Dengan demikian tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi. Berdasarkan hubungan tersebut, ada tiga tanda pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol.

Bahasa yang merupakan sistem tanda adalah sistem tanda tingkat satu atau dalam ilmu tanda-tanda (semiotik) disebut meaning (arti); sedang karya sastra kedudukannya lebih tinggi maka disebut sistem semiotik tingkat kedua. Sastra juga tentunya mempunyai makna yang konvensional. Karena itu, sastra memiliki arti atau maknanya sendiri atau biasa dikatakan bahwa makna sastra yaitu arti dari arti.  Jadi bahasa merupakan medium utama dalam sastra. Dalam hal ini, untuk mengkaji karya sastra atau lebih spesifik yaitu puisi secara sistem ketandaan ada tiga aspek atau tahap yang bisa digunakan. Pertama, analisis aspek sintaksis yaitu hubungan tanda dengan tanda, berupa analisis terhadap satuan-satuan linguistik, analisis ini dapat mengacu pada tata bahasa baku atau pedoman ejaan. Kedua, analisis aspek semantik yaitu hubungan tanda dengan makna, dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, isotopi, dan hubungannya dengan makna. Kemudian yang ketiga, analisis aspek pragmatik yaitu hubungan tanda dengan pengguna atau pembaca, berupa analisis terhadap pengujaran yang terlaksana dalam rangka komunikasi yang menuntut kehadiran pengirim dan penerima. Dalam teks sastra ketiga jenis tanda tersebut, kehadirannya kadang tidak dapat dipisahkan. Karena ketiga tanda itu sama pentingnya dalam teks yang memang menggunakan bahasa sebagai alat penyamapaiannya.
PEMBAHASAN

Pembahasan kajian ini merupakan analisis semiotika terhadap karya sastra yang sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Langkah pertama adalah dengan menganalisis aspek sintaksis; langkah kedua adalah dengan menganalisis aspek semantik; langkah ketiga adalah dengan menganalisis aspek pragmatik.
SISA SENJA
Karya : Soni Farid Maulana
Pada secarik kertas, ia melingkari kata menjadi tua.
Ditatapnya sisa senja di atas kepala, juga sepasukan
burung malam yang terbang ke arah kelam.
Bahwa detik jam serupa deru kereta waktu ia hayati
saat berkaca di bening bola matamu, di ranjang
penghabisan.

Dan kau berkata, bahwa tubuh kita
adalah halte tua dan sinyal sudah menyala
di arah bintang pagi. Jalanan lengang
sepanjang kamis malam. Desir angin di pohon kelapa
menyebar tanda. Kunang-kunang di rumpun ilalang
menarik ingatanku, terbang ke masa kanak-kanak

yang lelap tidur dibuai lagu top masa itu:
“bubuy bulan sanggray bentang.” Dan kini, sekali lagi,
betapa tubuh ini selalu goyah ditabrak angin dingin,
sedikit batuk, bahkan sering pula dilanda encok
dan sakit pinggang. Dan hidup terus melaju
seperti deru kereta waktu, yang kelak tiba
di halte tua ini, di tubuh renta ini.


Analisis Aspek Sintaksis

Membicarakan mengenai aspek sintaksis tentunya akan mengacu pada tata bahasa baku dan pedoman ejaan. Penyelidikan tersebut akan lekat hubungannya dengan keformalan di antara tanda satu dengan tanda-tanda yang lain. Tentu ini akan membicarakan mengenai kategori sintaksis dan fungsi sintaksis itu sendiri. Dalam hal ini yang nantinya akan kita kaitkan dalam mengkaji sebuah puisi.
Puisi Sisa Senja milik Soni Farid ini mempunyai tiga bait. Pada Bait pertama terdapat enam larik, bait kedua terdapat enam larik, dan bait ketiga terdapat tujuh larik. Puisi ini terdiri dari sembilan kalimat yang ditandai dengan tanda baca titik. Terdapat kalimat majemuk bertingkat dan kalimat sempurna karena ditandai dengan adanya fungsi subjek, predikat, objek dan fungsi lainnya.
Pada bait pertama muncul subjek ‘ia’ sebagai pelaku yang melakukan predikat melingkari, ditatapnya, dan hayati. Beberapa predikat di sini berbentuk gambaran. Jadi si aku menuliskan apa yang dilakukan si ‘ia’.

Bait kedua kalimat pertama adalah saduran dari kalimat langsung yang dikatakan si ‘ia’ kepada si aku. Si aku menyampaikannya kembali dengan kalimat yang tidak langsung. ‘Dan kau berkata, “itu” penjelasan itu; adalah halte tua dan sinyal sudah menyala di arah bintang pagi digambarkan dalam bentuk atribut objek yang kemudian menjadi metafor untuk “kita”. Bait ketiga banyak diawali dengan kata ‘dan’. Dalam tata bahasa baku Indonesia kata ‘dan’ tidak bisa ditempatkan pada awal kalimat karena ‘dan’ merupakan kata hubung yang terletak dalam kalimat atau biasa disebut konjungsi subordinatif.



Analisis Aspek Semantik

Dalam menganalisis aspek semantik, hal pertama yang harus dilakukan adalah analisis komponen makna kata yang terdapat dalam puisi. Hal ini bisa dilihat dari makna denotasi kata tersebut yang mengacu pada kamus Bahasa Indonesia. Penulis di sini mencoba untuk menemukan beberapa kata yang sekiranya memang berpengaruh atau mewakili dalam menggambarkan keadaan atau isi dari sajak.

Sisa : apa yang tertinggal

Senja : waktu (hari) setengah gelap sesudah matahari terbenam

Kepala : bagian tubuh yang di atas leher tempat tumbuhnya rambut
Burung : binatang berkaki dua, bersayap dan berbulu, dan biasanya terbang
 
Malam : waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit

Deru : tiruan bunyi angin rebut

Kereta : kereta yg terdiri atas rangkaian gerbong (kereta) yang ditarik oleh lokomotif, dijalankan dengan
 tenaga uap (atau listrik), berjalan di atas rel

Ranjang : tempat tidur, biasanya terbuat dari besi

Halte : perhentian kereta api, trem, atau bus (biasanya mempunyai ruang tunggu yg beratap, tetapi
 lebih kecil depan stasiun)

Tua : sudah lama hidup; lanjut usia (tidak muda lagi)

Lengang : sunyi sepi; tidak ramai; tidak banyak orang

Kunang-kunang: binatang kecil sebesar lalat yang mengeluarkan cahaya berkelip-kelip pada malam hari

Goyah : goyang karena tidak kukuh letaknya

Batuk : penyakit pada jalan pernapasan atau paru-paru yang kerap kali menimbulkan rasa gatal pada tenggorok sehingga merangsang penderita mengeluarkan bunyi yang keras seperti menyalak

Bintang : benda langit terdiri atas gas menyala seperti matahari, terutama tampak pada malam hari

Pagi : bagian awal dari hari

Malam : waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit

Encok : penyakit pada tulang; sengal; rematik

Renta : tua sekali dan sudah tidak bergigi dan bertenaga lagi

Setelah melihat arti langsung dari makna kamus, setelah itu kita bisa mengkaji lewat konotasi atau bahasa kias yang sekiranya memang lekat. Di sini Soni memilih judul Sisa Senja yang kemudian bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tertinggal dari waktu yang hampir berakhir atau usia yang hampir berakhir. Kita sering mendengar usia senja atau semacamnya. Dari keseluruhan sajak bisa dengan mudah kita tangkap pada sajak ini penyair begitu lekat dengan permasalahan waktu dan usia. Lihat saja pada beberapa larik pada bait pertama yang berbunyi; Ditatapnya sisa senja di atas kepala,juga sepasukan burung malam yang terbang ke arah kelam.

Kepala merupakan pusat terpenting pada bagian tubuh yang biasanya dapat menerka usia seseorang dari rambut yang ada di kepala, contohnya saja uban. Lalu burung malam mungkin di sini dimaksudkan burung hantu atau kelelawar yang merupakan jenis burung atau unggas yang berkeliaran pada malam hari. Mungkin juga penyair hanya mengambil diksi burung yang identik sebagai penanda kematian dalam mitos-mitos masyarakat Indonesia. Cukup jelas bahwa penyair dirasa sedang mencoba menggambarkan usia seseorang yang sudah tua renta, yang mungkin dalam hal ini dikaitkan dengan kematian di usianya yang sudah tidak muda lagi.

Kemudian larik berikutnya menjelaskan si seseorang yang tua renta; sebagai seseorang yang sedang diujung usia menunggu akhir hidupnya. Pada bait pertama larik terakhir disebutkan ranjang penghabisan, seperti mempertegas hal yang sedang ditunggu akan berakhir dan ia sebagai si penunggu telah tau bagaimana akhir penantiannya. Ranjang yaitu tempat tidur yang biasa digunakan untuk beristirahat. Istirahat dilakukan setelah melakukan aktivitas, yang biasanya memang dilakukan di akhir hari, malam.

Dan kau berkata, bahwa tubuh kita adalah halte tua dan sinyal sudah menyala di arah bintang pagi. Jalanan lengang sepanjang kamis malam. Desir angin di pohon kelapa menyebar tanda. Kunang-kunang di rumpun ilalang menarik ingatanku, terbang ke masa kanak-kanak pada bait kedua dalam Sisa Senja ini, Soni Farid mulai memunculkan metafora dalam menggambarkan keadaan si aku lirik dalam sajak. Lagi-lagi penyair memperkuat mengenai penantian yang sudah usang, beliau memasukkan halte tua pada larik kedua. Namun yang perlu menjadi wacana adalah bintang pagi yang dimaksud Soni pada larik ketiga. Bintang yang akan muncul atau tampak pada malam hari, tapi Soni menyebutnya bintang pagi di sini. Mungkin saja yang dimaksud penyair adalaha matahari atau entah apa. Kemudian Soni memilih kamis malam pada larik keempat. Kamis malam itu berarti malam jumat, malam sebelum hari esok yang adalah jumat. Di masyarakat sendiri banyak muncul mitos-mitos atau cerita masyarakat yang berbau mistis mengenai malam jumat. Beberapa sajak Soni dalam antologi Mengukir Sisa Hujan ini terlihat beberapa diksi yang lekat sekali dengan berbau mistis. Misalnya saja pada sajak Sisa Senja ini, seperti; burung malam, kunang-kunang, kamis malam. Itu semua identik dengan malam, gelap, kuburan. Selebihnya, saya pikir hanya metafora yang dihadirkan Soni sebagai pelengkap untuk memperindah sajak ini, seperti Desir angin di pohon kelapa… dan Kunang-kunang di rumpun ilalang… Pada bait terakhir, Soni memunculkan campur kode yang di sebagian besar sajak-sajak miliknya memang begitu. Mungkin Soni mencoba untuk memunculkan style atau gaya kepenyairannya. Lihat saja larik kedua, Soni menulis; bubuy bulan sanggray bentang. Setau saya itu adalah sebuah penggalan lirik syair lagu dari bahasa daerah yang ada di Indonesia yaitu menggunakan bahasa sunda. Mungkin juga karena Soni adalah orang Tasik, tanah sunda. Karena karya sastra itu mimesis seperti yang dikatakan Plato, yaitu tiruan realita. Soni mungkin saja terinspirasi dari kehidupannya ketika menulis sebuah sajak. Walau pada dasarnya Soni tidak mempunyai maksud lebih pada larik ini. Soni hanya sekedar memberitahukan ingatannya tentang masa kanak-kanaknya yang hobi mendengarkan lagu tersebut. sedikit batuk, bahkan sering pula dilanda encok dan sakit pinggang. Larik ini akrab sekali dengan penyakit yang sekiranya dekat dengan orang tua. Dan hidup terus melaju seperti deru kereta waktu, yang kelak tiba di halte tua ini, di tubuh renta ini. Selesai, Soni memberhentikan sajak ini dipemberhentian yang disebut sebagai halte dan sudah tua pula. Jadi memang penantian yang memang sudah lama. Pada dasarnya, menganalisis dari aspek semantik yang membahas melalui denotasi, konotasi, majas, dan juga isotopi akan memudahkan kita dalam hal pembacaan tema. Dari keseluruhan sajak dapat kita simpulkan bahwa Soni banyak membicarakan mengenai waktu, melalui metaforanya dengan senja, pagi, malam, kereta waktu, halte tua, renta, dan lain sebagainya. Hal demikian sebenarnya mempertegas keaadaan si aku dalam sajak yang memang sedang menanti di usianya yang sudah tidak muda lagi dengan penyakit encok dan sakit pinggang. Majas metafora dan isotopi waktu yang lekat pada sajak Sisa Senja ini digambarkan jelas oleh Soni melalui pemilihan-pemilihan kata yang membuat kita ingin mempelajari kebudayaan. Bisa berupa mitos mitos yang berkembang di masyarakat dan tentunya mempelajari bahasa Sunda.

Analisis Aspek Pragmatik

Membaca sajak Soni Farid Maulana yang berjudul Sisa Senja ini mengingatkan saya pada Antologi Cerpen milik Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku. Pada antologi tersebut banyak digambarkan senja-senja yang dihubungkan dengan kekasih, anak-anak, ikan paus, tukang pos bahkan Jezebel dan Alina yang merupakan perempuan perempuan misterius. Membicarakan mengenai senja akan lekat sekali dengan hal-hal yang berbau waktu dan akhir. Dalam puisi “Sisa Senja” ini terdapat dua pronomina aku dan ia. Pronomina tersebut menunjukkan kepada kita sebagai pembaca bahwa terjadi komunikasi antara dua subjek, yakni si penutur ‘aku’ dan ‘dia’ yang bertindak sebagai yang diceritakan. Lirisisme dalam karya-karya Soni, umumnya cenderung menggapai makna pendedahan ke dalam batin ke aku-an, tetapi dalam modus ke-kita-an.  Soni mencoba menyampaikan apa yang dirasakan si aku dan si dia. Metafora-metafora yang dihadirkan dengan menggambarkan sesuatu yang lekat dengan permasalahan waktu dan penantian. Penyair tampaknya sedang mencoba berbagi masa tuanya, dengan menghadirkan beberapa penyakit dan kenangan-kenangan masa kecil. Pembaca bisa mempunyai pandangan yang jelas mengenai kereta waktu yang dimaksud Soni di sini dengan halte tua dan tubuh renta. Jadi dapat disimpulkan bahwa penyair sedang menceritakan keadaan masa tuanya dengan penantian di ranjang penghabisan yang sebenarnya ‘kita’ dalam sajak ini sudah tau bahwa itu adalah kematian dengan kata-kata ‘habis’, berarti tamat/berakhir/selesai.



SIMPULAN

Berdasarkan yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan, dapat diketahui bahwa Soni Farid Maulana lekat sekali dengan metafora-metafora yang sebenarnya itu memperindah sajaknya. Walaupun memang pada beberapa bagian hanya menjelaskan yang berwujud keterangan atau gambaran tidak sebagian besar mendukung sebagai pemberian pengertian kepada pembaca. Soni juga sangat akrab dengan campur kode. Tidak hanya di sajaknya Sisa Senja ini. Tapi juga beberapa sajaknya yang lain pada antologi “Mengukir Hujan” bisa kita lihat banyak dimasukkan bahasa daerah, yaitu sunda. Itu menjadi gaya kebahasaan Soni dan mungkin salah satu cara yang baik untuk memperkenalkan budaya sunda pada pembaca. Soni juga memasukkan unsur-unsur mitos yang berkembang di masyarakat, membuat sajak ini berbau mistis. Jadi, puisi yang baik memang seharusnya tidak hanya miliki kekuatan pada kata-kata yang tidak hanya memerhatikan unsur estetika, tetapi juga bagaimana unsur ketatabahasaan turut menyertai kesempurnaan sebuah maha karya di dalamnya. Imajinasi deskriptif merupakan teknik/trik yang ampuh untuk digunakan dalam pembuatan puisi terkait penyampaian makna terhadap lawan bicara atau pembaca dengan memberikan gambaran-gambaran yang indah lewat majas dan gaya bahasa.

No comments:

Post a Comment