Akan
kuceritakan sebuah kisah padamu. Tentang bulir hujan dan sebongkah batu,
tentang kesetiaan, tentang sebuah pengorbanan,
tentang cinta yang sederhana.
Aku bertemu dengannya tiga bulan yang
lalu. Saat itu ia hanyalah bagian kecil dari lautan. Namun ada yang berbeda
darinya. Bersama dengan kelompok kecilnya, ia berani memantulkan bayanganku.
Tak peduli seberapa panas bayanganku, ia tetap saja menampilkan bayanganku.
‘apa
yang kau lakukan’ tanyaku padanya.
‘aku
memantulkan cahayamu’ jawabnya sendu.
‘jika
kau melakukannya, kau akan masuk dalam siklus menjemukan’
‘lebih
baik daripada aku seperti ini’
‘mengapa
? bukankah kalian lebih suka menjadi lautan, karena kalian mencintai
ketenangan?’
‘tidak
untukku’
‘haha..
air yang tak ingin ketenangan. Apa kau ingin menjadi bencana seperti mereka
yang terluka ?’
‘tidak..
Aku tidak ingin melukai makhluk lain’
‘lalu
kenapa ?’
‘aku…
mempunyai janji’ jawabnya sedikit terbata.
Akupun
tak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan ini. Ada risau yang teramat ketika aku
melontarkan pertanyan-pertanyaan padanya. Risau yang tercipta dari sebuah rindu
yang teramat.
Sehari,
dua hari, seminggu hingga sebulan pun berlalu. Perlahan tubuh kecilnya memudar
oleh panasku menjadi gumpalan-gumpalan putih di langit. Dalam waktu dua bulan, dengan
bantuan angin, ia sudah tiba di kaki sebuah bukit bersama teman-temanya yang
sudah menghitam. Dan dalam waktu semalam, gumpalan itu menghilang menjadi
bulir-bulir hujan yang menghujam bumi. Pagi hari aku mencarinya. Ada penasaran
yang timbuk dari kata-kata terakhirnya saat itu. Perlahan sinar redupku mulai
menyisir tempat dimana ia jatuh. Cukup lama, cukup lama aku mencarinya hingga
pada akhirnya aku menemukannya. Saat itu, dengan senyum yang rekah, ia sedang
memadu kasih dengan sebongkah batu kali. Ia berbeda ketika saat aku bertemu
dengannya ketika menjadi lautan. Ia seperti anak kecil yang merindukan pelukan
ibunya, seperti pemburu yang merindukan harta, seperti aku merindukan gerhana
bersama bulan. Sementara batu yang ditemuinya itu berwarna hitam pekat, kecil,
dan terlihat sangat rapuh. Sepertinya ia sudah lama keluar dari perut bumi,
tercermin dari tubuhnya yang sudah mulai terkikis oleh air. Hanya dua hari waktu
mereka bersama, bulir itu mulai menyatu dengan air sungai dan perlahan kembali
ke laut, meninggalkan batu dengan segenggam cinta untuk mengobati rindunya hingga
pertemuan selanjutnya.
Dari
kabar yang kudapat dari pohon, mereka adalah sepasang kekasih. Mereka bertemu
20 tahun lalu. Saat itu batu dimuntahkan gunung dari perut bumi. Berbeda dengan
teman-temannya, ia adalah batu terapuh yang muncul saat itu. Ketika batu-batu
lain begitu angkuh dengan memakah jubah baja saat hujan mencari tempat jatuh.
Ia dengan telanjang membiarkan tubuh lembutnya menjadi tempat jatuh. Tak heran
banyak bulir air yang memanfaatkannya hanya agar mereka tak jatuh ke tanah dan
masuk kedalam kegelapan bumi. Saat hujan pula ia bertemu dengan bulir air itu.
Saat malam, minggu kedua musim penghujan, saat angin tak begitu ramah dengan
sedikit mengeraskan wujud bulir hujan, saat kekosongan memenuhi rongga hati
mereka.
‘menyingkir
dari sana’ teriak bulir hujan beberapa saat sebelum menabrak batu.
‘tidak
apa-apa, aku tidak memakai jubah baja’ jawab batu dengan berteriak juga.
‘haaa
?’ bulir hujan keheranan mendengar jawaban batu.
‘awaaaaas’
teriak bulir hujan kembali ketika semakin dekat dengan batu.
Namun batu tetap tak menghindar. Ia
memang sudah siap dijadikan tempat jatuh bulir hujan. Semakin dekat, semakin dekat
hingga akhirnya bulir hujan pun jatuh dipelukan batu. Tubuhnya, kecil, sedikit
keras meski jauh lebih lembut dari batu lain, dan hangat.
‘kenapa
?’
‘maksudnya
?’
‘ya
kenapa kamu membiarkan aku jatuh padamu’
‘karena
aku batu terlembut yang bisa memelukmu’ jawab batu dengan senyum kecilnya.
Tiba-tiba bulir hujan merasakan
degup yang kencang saat melihat senyumnya. Ia tak pernah melihat makhluk
sebodoh batu ini. Entah perasaan apa yang hadir saat itu, semua rasa yang
termasuk kedalam kebahagiaan bercampur saat itu. Malam itu, bulir hujan
tertidur dalam pangkuan batu, memeluknya erat.
Sejak saat itu, hubungan merekapun
semakin dekat. Meski sebenarnya ada rasa yang timbul dari mereka, namun hal itu
pada akhirnya hanya menyangkut pada kediaman yang tak bisa dipadamkan. Dua hari
dalam setahun mereka habiskan bersama. Ya, hanya dua hari, saat musim penghujan
tiba. Meski begitu hubungan mereka lebih kuat dari mereka yang selalu bertemu
setiap hari, bahkan jauh jauh lebih kuat. Namun tak ada sesuatu yang abadi di
dunia ini, pada akhirnya semua harus berakhir dengan luka.
Setahun lalu, saat siklus musim
berantakan karena makhluk-makhluk egois yang merusak bumi. Bulir hujan bertemu
kembali dengan batu setelah dua tahun tak bertemu. Seperti biasa, mereka
menghabiskan malam pertama pertemuan mereka dengan saling mendekap erat. Hingga
tiba disaat perpisahan mereka, takdir menyadarkan dunia mimpi mereka.
‘aku
mencintaimu’ ucap bulir hujan pada batu.
‘maukah
kau pergi ke muara bersamaku ? disana kita bisa tinggal di dasar lautan. Kau
tak perlu lagi menahan bulir-bulir hujan yang jatuh. Dan kita bisa hidup
selamanya disana.’ Ucapnya kembali mencoba menyakinkan.
Saat itu batu hanya terdiam, ada
kebimbangan menggelayuti pikirannya saat itu. Cukup lama, cukup lama kebisuan
hadir diantara batu yang terdiam dan bulir hujan yang menunggu jawaban.
‘aku
tidak bisa’ jawab batu pelan.
‘k..k.ke..napa
?’ Tanya bulir hujan dengan terbata, takut jika perasaannya hanya bertepuk
sebelah tangan.
‘aku
tidak bisa, lihatlah aku’ jawab batu sendu sembari memperlihatkan tubuhnya.
Seketika bulir hujan merasa sesak.
Tubuh batu, tubuh batu yang dahulu terlihat kekar. Kini hanya tersisa tidak
lebih dari 10% dari saat pertama mereka bertemu. Tubuhnya telah banyak terkikis
oleh bulir hujan lain dan air sungai. Cinta yang begitu menggebu pada bulir
hujan, membuatnya buta akan kondisi batu. Baginya, batu tetap terlihat sama
ketika mereka bertemu. Satu-satunya yang berubah hanya perasaannya yang semakin
dalam pada batu ketika bertemu.
‘berbeda
denganmu, aku tidak abadi. Aku tidak akan kembali menjadi batu saat aku
memudar’ ucap batu semakin sendu.
‘aku
mencintaimu, sangat. Tapi hubungan kita tak lebih dari sebuah mimpi-mimpi yang
akan segera berakhir.’ Lanjut batu dengan suara yang lebih berat.
Bulir hujan hanya terdiam mendengar
kata-kata yang terucap dari batu. Kenyatan ini, terasa seperti mimpi buruk yang
ingin ia akhiri. Lebih dari itu, mungkin ia tak pernah ingin mengalami mimpi
ini. Pertemuan itu pun berakhir, dengan meninggalkan luka yang teramat bagi
mereka berdua.
22 tahun, umur batu itu untuk
melihat keindahan dan kebusukan bumi. Kini tubuhnya sudah menyatu dengan
pendahulunya yang telah lebih dulu menjadi tanah. Memberi luka yang tak
terobati bagi bulir hujan.
Ada yang berbeda darinya, dengan
kelompok kecilnya ia berani memantulkan bayanganku. Tak peduli seberapa panas
bayanganku, ia tetap saja menampilkan bayanganku.
‘apa
yang kau lakukan’ tanyaku padanya.
‘aku
memantulkan cahayamu’ jawabnya sendu.
‘jika
kau melakukannya, kau akan masuk dalam siklus menjemukan’
‘lebih
baik daripada aku seperti ini’
‘ia
sudah tak ada, berhentilah menjadi hujan’ ucapku padanya mencoba menyadarkannya
dari mimpi yang belum berakhir.
‘mungkin’
jawabnya singkat.
‘maksudnya
?’ tanyaku heran dengan jawabannya.
‘mungkin
tubuhnya tidak abadi, tapi kenangan dan perasaannya akan tetap abadi. Seperti
hidupku yang abadi,
No comments:
Post a Comment