Kutemukan siluetmu dalam memoarku. Dikala
senja kemuning menyelusup pekatnya
kesedihan. Waktu adalah luka terbesar dalam hidup. Luka, bagi mereka yang hidup
dalam kenangan. Termasuk aku. Aku ingat, senja lalu tak pernah seperih ini. Tak
ada potongan-potongan kecil memori yang mengiris hati yang rapuh. Aku
mencintaimu. Dulu, kini dan nanti. Aku tidak memilih mencintaimu. Namun takdir
telah memutuskan, aku akan hidup untuk mencintaimu. Meski kau tak hidup untuk
menerima cintaku.
Aku masih mengingatnya. Tiga tahun yang lalu. Kala itu kau masih berupa
putri kecil yang mencoba tumbuh dewasa. Sedang aku pria biasa yang
kekanak-kanakan. Aku tidak pernah tahu, dari sekian banyak pria di bumi ini.
Kenapa kau harus menitipkan sedikit cintamu padaku. Pada pria yang baru kau
temui 4 hari. Pada pria yang baru satu jam kau ajak berbincang melalui pesan
singkat. Dan entah mengapa akupun menerimanya. Mungkin ini yang dinamakan
rencana tuhan.
“aku sayang kamu”
“hm gombal”
“serius”
“hm iya iya”
“kamu sayang aku ga ?”
“gatau”
“iih serius”
“hehe iya aku sayang
kamu”
Kau pun berlalu dengan senyum manis
berpendar di bibir tipismu. Meninggalkanku tertinggal di pekatnya jalan
cipaganti. Tak banyak waktu berdua yang kau habiskan bersamaku. Satu-satunya
waktu itu adalah setiap hari sebelum kita berangkat sekolah. Berbagai alasan
pun muncul, sekedar mengerjakan pr, menunggu waktu sekolah, atau mempelajari
sedikit materi ketika akan ujian. Namun itu tak lebih dari sekedar alasan agar
aku bisa menghabiskan waktu berdua. Mendekapmu dalam bisu, atau mencumbu bibir
tipismu dalam rindu.
Hari ini. Tepat tujuh tahun sejak janji itu.
Aku bukan remaja kekanak-kanakan lagi. Kini aku telah menjelma pria dewasa yang
siap bersaing di tengah masyarakat. Dengan gelar sarjana pendidikan yang
sebentar lagi aku dapatkan, aku siap membuka sebuah cabang baru restoranku.
Cukup membingungkan bukan. Cita-citaku dari kecil memang membuka sebuah
restoran. Selain karena aku menyukai makanan, faktor ayahku yang seorang koki
pun mendorong cita-citaku untuk menjadi kenyataan. Sehari yang lalu aku
memberanikan diri memfollow twitternya. Sekaligus memention untuk memintanya
hadir di acara wisudaku. Namun Tidak ada balasan dari dia. Entah dia tidak
membacanya atau dia memang malas untuk membalasnya.
Hari ini aku dengan togaku bersanding
dengan ibuku yang mengenakan kebaya merah berpadu kerudung krem. Sedang ayahku.
Ayahku melihatku dari sana, dari dunia tempat mereka yang tiada. Dalam riuhnya
susasana wisuda, aku membalas ucapan selamat dari kawan-kawanku. Diselingi sekali, dua kali jepretan dari
tukang foto. Hingga acara wisuda itu selesai. Dia tak datang. Entah apa
alasannya. Namun aku pun tidak terlalu mengharapkannya. Aku mengerti, enam
tahun tidak berkomunikasi. Lalu tiba-tiba hadir hanya untuk memintanya datang
ke acara wisuda pria yang pernah menyakiti hatinya. Ya dua kali aku
menduakannya. Namun aku hanya pria kekanak-kanakan waktu itu. berbeda kini yang
mengerti artinya sebuah ketulusan.
Melalui
silir senja, matahari pun kembali ke belahan lain. Meninggalkan malam sebagai
gantinya. Iseng-iseng aku membuka twitter. “selamat ya udah jadi sarjana. Maaf
aku ga bisa dateng” sebuah balasan darinya menghiasi muka laptopku. Jujur saja,
aku sangat bahagia waktu itu. Sepertinya
dia sudah mulai melupakan kesalahanku dulu. “makasih ya. Iya gapapa hehe”
jawabku dengan sigap. Malam itupun terasa indah seperti dulu. Malam yang tak
pernah kudapatkan selama enam tahun ini.
Sejak hari itu, kamipun berbalas
pesan. Aku rasakan canda tawanya yang dulu riuh diantara kita. Meski tak
melihat wajahnya, namun setiap balasan yang ia buat slalu membawaku kepada
memori dia tujuh tujuh tahun lalu. Sepertinya cemeti cinta mulai mengiris hatiku
lagi. Dan aku bahagia. Sebulan sudah kami berkomunikasi lagi. Tidak lagi di
twitter, namun kini sudah melalui pesan singkat bahkan sesekali menelfon. Tak
jarang pula kami menghabiskan waktu berdua berkeliling mendatangi tempat-tempat
hiburan di bandung. Dan aku rasa hubunganku pun sudah lebih membaik dengannya,
dan aku pun berharap akan semakin membaik. Semoga saja ada kesempatan dimana
aku bisa mengulang kembali kenangan bersamanya. Namun malam itu aku berharap
aku tak pernah bisa berkomunikasi lagi dengannya. Malam itu dia menelfonku
dengan tersedu, aku sendiri bingung dengan tingkahnya. Namun tak lama
kebingungan itu pun berubah menjadi kebencian dan kepedihan. Sedikit penjelasan
lalu dia mengundangku untuk menghadiri acara pernikahannya esok hari. Tanpa
banyak kata aku mengiyakan dan langsung menutup telfonnya. Aku kehabisan kata,
malam itu aku habiskan dengan melamun sepanjang malam. Entah apa yang aku
lamunkan. Hanya kosong yang ada dipikiranku. Sebulan yang lalu ketika aku
mengundangnya di acara wisudaku, dia bertunangan. Bertunangan dengan pria yang
sudah menjadi kekasihnya enam tahun sejak kepergianku. Sakit memang, namun
inilah kenyatannya. Inilah rencana tuhan. Rencana untuk menjadikanku gangguan
sebelum dia menikah dengan kekasihnya. Ya memang banyak yang bilang, ketika
akan menikah akan ada gangguan yang kuat, yaitu orang dari masa lalu. Tetapi
aku tidak pernah berpikir jika akulah yang akan menjadi orang masa lalu itu.
Esoknya aku datang ke pernikahannya.
Menggenakan celana dan jaket jeans. Aku terlihat mencolok dibandingkan orang
lain yang mengenakan batik ataupun jas. Aku terlihat lebih urakan. Di depan
pintu masuk aku melihatnya tersenyum menyalami orang-orang yang datang. Senyum
penuh kebahagiaan menurutku. Tapi entahlah. Sedikit demi sedikit senyum itu
mulai memudar dari bibirnya, seiring dengan tubuhku yang mulai mendekat. Setiap
langkahku kurasakan hatiku semakin sakit, terasa seperti dikoyak ribuan
kesakitan. Aku tarik nafas sedalam-dalamnya, lalu aku tersenyum sembari
menjabat tangan mempelai prianya. Ketika aku akan menyalaminya, kulihat embun
dimatanya menetes. Riuh, membuat orang yang melihatnya keheranan. Sontak aku
berbisik ditelinganya “kau jangan menangis, ini sudah rencana tuhan. Jika kita
tak bisa bersatu di dunia, mungkin kita akan bersatu di akhirat. Aku
mencintaimu, dari awal hingga nanti. slalu”. Akhirnya diapun mengusap air mata
di pipinya. Dan aku pergi melihatkan diriku yang mulai membias dari kerumunan
orang-orang.
Setahun adalah waktu yang dirasa tuhan
cukup untukku denganmu. Namun enam tahun masih dirasa tuhan belum cukup untukku
melupakanmu. Dan entah mengapa aku masih berharap bisa merasakan cinta yang
dulu pernah kau berikan. Mereka slalu menanyakan, kenapa kau harus berhenti di
wanita pendek, gendut dan lebih tua darimu. Sedangkan diluar sana masih banyak
wanita yang lebih cantik dan lebih segalanya dari dia. Bahkan wanita yang telah
kau sia-siakan pun lebih darinya bukan ? namun mereka tidak pernah mengerti.
Cinta tidak perlu sebuah alasan, hanya perlu sebuah ketulusan.
No comments:
Post a Comment