Sepekat apakah malam ?
Tak lebih pekat dari hatiku
yang redup oleh kenangan.
Kau ingat ? betapa malam yang begitu
kau puja.
Kini menjelma waktuku mati.
Dulu, dibawah guyuran lampu
pekarangan.
Kau menari riang
bersama temanmu di tengah malam.
Menari
hingga kau lelah dan terjatuh di
hadapku.
Aku iba
membawa dan merawatmu. Dalam sempit
dan pengapnya lubang kecil tembok
itu.
Sayap rapuhmu mengilau
diterpa serpihan cahaya bulan.
Sedang tubuhmu yang kecoklatan.
Terbaring bisu
dihadapku.
Sehari, dua hari, tiga hari.
Dan seminggu sudah aku merawatmu.
Tawa manismu kembali berbinar di
raut wajahmu.
Sedang sayap halusmu
kembali membawamu terbang dalam
riang.
Malam itupun kembali kau menari.
Namun tak kulihat temanmu yang dulu.
Mungkin mati di tarian lalu.
Layaknya déjà vu, kaupun terjatuh
dan aku merawatmu kembali.
Kedua kali.
Ketiga kali minggu berikutnya.
Keempat kali minggu berikutnya.
Hingga ketujuh kalinya, aku tak
tahan lagi.
“tolong jangan menari lagi.
Tinggallah disini bersamaku”
Tak sepatah kata terucap dari
bibirmu yang mengatup.
Hanya gores senyum dihiasi bulir
bulir embun yang menetes
dari matamu.
Sebulan, dua bulan tak begitu
menjemukkan bagimu.
Hingga tiba di satu tahun.
Buah cinta yang sudah terjalin harus
dibunuh.
Sebab kita hanya budak takdir, tak
lebih.
Kaupun memutuskan pergi malam ini.
Sekeras apapun aku memohon,
sekeras itu pula tekadmu menguat.
“seharusnya aku mati sejak pertama
kau membawaku”
Lalu kau pergi dan menari di lampu
pekarangan itu.
Sedang aku dengan bodohnya hanya
bergelut dengan ego.
Kaupun mati dalam tarian itu.
Andai aku lepas dari ego.
Mungkin malam ini aku sedang
merawatmu.
Hal yang membawamu hidup lebih lama.
Denganku.
No comments:
Post a Comment