Kenangan Tak Terlupakan (7.Cinta !!!)
Cinta, itu ketika hidupmu hanya untuknya,
ketika senyummu hanya karena tingkahnya, ketika sedihmu hanya karena lukanya,
dan ketika bahagiamu karena bersamanya.
Entah kenapa tulisan di sebuah buku itulah
yang membuka lembar hariku hari ini. Buku yang berisi setiap curahan hatinya yang
ia ciptakan untuk menggambarkan cinta yang dimilikinya untuk kekasih yang
sangat ia cintai. Namun kebodohan dan keserakahan telah melepaskan cinta yang
tulus untuknya. Hingga cinta itu menemukan galangan baru untuk ketulusannya.
Dan ia, kini hanya mengemis berharap ada cinta tulus lagi untuknya.
§
Ini hari ketiga aku mendekam di
kamar. Sejak kejadian pekan olahraga siswa, ibu meminta kepadaku untuk
beristirahat di rumah, meski sebenarnya ada tugas kelompok yang harus aku
kerjakan. Namun teman-temankupun memintaku untuk beristirahat, terutama aira
yang begitu perhatian hingga tak lupa menelfon setiap saat hanya untuk
menanyakan pertanyaan yang sama tentang bagaimana keadaanku. Tapi hari ini aku
putuskan untuk datang membantu teman-teman seatu kelompok. Kemudian aku
mengambil telfon genggamku dan menghubungi aira lewat pesan singkat.
Aira,
hari ini kerja kelompok jam berapa ? dimana ?
Dirumahku
jam sepuluh, emang ada apa ?
Aku
mau ikut kerja kelompok.
Lah
emang udah sembuh ? emang udah boleh gerak ? ga usah ih mending di rumah aja
istirahat kamu teh, ntar ada apa-apa.
Aku
udah sembuh.
Ih
serius kamu teh ? jangan dipaksain deh lagian udah mau selesai kok.
Iya.
Ih
meni singkat, kamu kesini sama siapa ?
Sendiri
aja kayaknya.
Ih
kenapa sendiri ? emang mang akhmad kemana ?
Dia
lagi pulang nengok anaknya yang sakit.
Nah
kamu kesini naik apa ? aku jemput deh ya.
Ga
usah, aku mau bawa motor.
Emang
bisa naik motor ?
Bisa
kok.
Euh
yaudah deh, kamu kesininya jam delapanan aja ya.
Kok
pagi banget ?
Ya
biar aku jelasin dulu tugasnya sampe mana, nanti pas ada anak-anaknya jadi kamu
ngerti, tinggal ngikutin. hehe
Oh
yaudah.
Dadah
malik :-*
Aku bangkit dari pembaringanku dan
menuju kamar mandi yang ada di kamarku. Setelah selesai mandi dan berpakaian
kemudian aku menyiapkan buku pelajaran dan memasukannya ke dalam tas selendang,
tak lupa buku gambar A4ku dan pensil. Lalu aku pergi ke dapur mencari bi sum,
namun tak kutemukan. Yang kutemukan hanya mbak ina yang sedang menyiram
tanaman.
“mbak, aku mau kerja kelompok
dulu” ucapku meminta ijin.
“eh mas, emang udah sembuh ? udah
bilang ke ibu sama bapak belum ?” tanyanya
“belum, ga lama kok. Kalo nyariin
nanti suruh telfon aja, kalo ga nyariin ga usah di kasih tahu” ucapku.
“kok gitu mas ?” tanya mbak ina
keheranan.
“gapapa” jawabku singkat.
Kemudian aku menghidupkan motor matic berwarna merah,
kemudian kupacu motorku menyusuri jalanan. Rumahku dengan rumah aira tidak
terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 40menit. Aku menyusuri jalanan
minggu pagi yang sepi, sengaja kupacu motorku tak lebih dari 40km/jam. Karena
jarang sekali aku berpergian menggunakan motor, ternyata memang lebih
menyenangkan menggunakan motor daripada mobil. Kau bisa merasakan hembus angin
yang langsung menerpa sekujur tubuhmu, begitu menyejukkan. tak lama setelah
memasuki jalan komplek akupun sampai di rumah aira.
Tengtong.... tengtong....
“hai malik, silahkan masuk” ucap
aira yang menyambutku sendiri.
Kumasukan motorku dan kuparkirkan di
garasi aira.
“silahkan duduk, kamu mau minum
apa ?” tanya aira.
“ah apa saja” jawabku singkat.
“euh, dasar. Susu ya ?” tanyanya.
“ah jangan, kopi saja, tapi yang
ga ada ampasnya” jawabku.
“euh dasar katanya apa aja,
yaudah tunggu sebentar ya” ucapnya sembari pergi dari hadapku.
Rumah aira tidak begitu besar namun sangat
terawat dan indah. pemanfaatan ruangannya begitu diperhatikan, ruang tamu dan
ruang keluarga hanya dipisahkan oleh sebuah akuarium ikan yang berisi dua buah
ikan arwana. Di halaman terdapat sebuah kolam kecil dan beberapa pohon
buah-buahan. Di luar juga terdapat sebuah tangga yang menuju balkon di lantas
dua sama seperti di rumahku, fungsinya adalah ketika ada tamu kita bisa
mengajaknya berbincang di balkon lantai dua dengan udara segar. Tentu saja
balkonnya dibuat agak besar.
“nih kopinya, oh iya ini ada kue
biskuit bikinan aku kemarin. Coba deh” tawarnya dengan senyum manis.
“yap” jawabku sambil mengambil
sepotong kue.
“gimana enak ?” tanyanya dengan
mata berbinar berharap ucapan ya dariku.
“ywap” jawabku dengan mulut penuh
kue.
“malik ?” tanyanya.
“ywap” jawabku sigkat.
“kamu lucu deh” ucapnya sambil
melihat ke arah mukaku.
“hwm” jawabku dengan mulut yang
tak henti mengunyah.
“malik kamu mau ga ?” tanyanya
sambil mendekat ke arahku.
“apwha” tanyaku.
“kamu mau” belum sempat dia
menyelesaikan ucapannya datang ayah dan ibunya.
“eh ada tamu” ucap ibunya.
“halo om tante. Saya malika”
ucapku dengan cepat menghentikan makanku dan memperkenalkan diri sambil
menjabat tangan ayah dan ibu aira.
“oh ini yang namanya malika, kami
udah denger banyak. Malah sangat banyak dari aira hehe” ucap ayahnya.
“eh” ucapku bingung.
“aira dia cakep juga loh” ucap
ibunya kepada aira.
“ih apaan sih mah, udah sana mau
pada pergi mah. Bikin malu aja” ucap aira dengan muka yang mulai memerah.
“eh yang mau berduaan haha” ucap
ibu aira menggoda.
“haha, yasudah yah malika. Kami
tidak bisa lama-lama soalnya ada acara keluarga. Kamu ga usah sungkan, anggap
saja di rumah sendiri ya.” Ucap ayahnya aira.
“iya om terima kasih” jawabku
dengan penuh hormat.
“yaudah kita pergi dulu yaa, dah
aira. Dah malikaaaaaa, haha” ucap ibunya sambil menatap ke arahku.
“yap” balasku sambil melambaikan
tangan.
Tak lama kamipun duduk kembali, aku
kembali mengambil sepotong demi sepotong kue, tak lupa sesekali minum kopi yang
dibuatkan aira.
“maaf ya tadi orang tua aku” ucap
aira dengan malu-malu.
“ywap” jawabku dengan mulut yang
sudah penuh dengan kue kembali.
“kamu lahap banget makannya, enak
ya ? hehe” tanya aira.
“ywap, enwak bangwet” jawabku.
“hehe, maliiik” ucapnya sambil
mulai menyandarkan kepalanya di bahuku.
“ywap” jawabku singkat sambil
memegang toples kue dan terus mengunyah.
“dulu waktu pertama liat kamu,
kamu itu kayak yang jutek, ga banyak omong. Malah temen aku bilang kalo kamu
bisu” ucapnya.
“emwang kwapan kwamu ketwemu
akwu” tanyaku sambil terus saja mengunyah.
“waktu masa orientasi siswa. Aku
kan duduk pas banget di pinggir kanan kamu. Masa kamu ga tau iiiih. Ah iya ya
kan kamu asik mandangin langit, sampe senior marahin kamu juga gak di denger”
ucapnya ketus.
“owh kamwu ywang bwilang akwu
kerwen ya ?” ucapku dengan mulut yang sudah tak terkendali.
“ih kok kamu tau ? aku kan
bisik-bisik bilangnya. Emang kedengeran ?” tanyanya kaget.
“hwm” gumamku.
“euh dasar tukang nguping, hehe.
Malik ?” tanyanya kembali.
“hwm” gumamku sambil mencoba
untuk memasukkan satu potong kue ke dalam mulut agar lebih efisien dalam
memakan.
“aku suka sama kamu” ucapnya
singkat.
“glek eeeeeeee. eeeeeee” aku
tersedak.
“kamu ih, meni sampe pura-pura
keselek denger itu haha” ucapnya yang kini sudah memeluk erat tanganku.
“eeeeeee. Eeeeeee iiiiniiii”
ucapku agak sulit.
“kenapa ? eh kamu keselek
beneran. Iiiih maaaaaf kamu gapapa kaaaaan ?” tanyanya malah memperhatikan
mukaku.
“miiiiinuuuuum” ucapku.
“eh iyaya bentar maaaf. Ini minum
ini” ucapnya sambil mengambil kopi yang ada di meja.
“glek glek.... aaaaaaaah”
“maaaaf yaaaa” ucapnya dengan
wajah tertunduk.
“yap” ucapku singkat sambil
mencoba memakan kue kembali.
“kamu tuuuh yaaaaaaa, udah
keselek masih aja makaaaan. Iiiiih ngegemesiiiiiin” ucapnya sambil mencubut
perutku.
“ewh” ucapku sambil langsung
menghindar.
“eh mau kemana, aku cubit aku
cubiit haha”
“eh eh”
“haha iiiiih cubit lagi cubit
lagiiii”
“eh eh”
Ting tong.... ting tooong.... suara
bel yang diikuti ucapan salam dari beberapa orang. aira pun keluar, tak lama
dia kembali bersama toni, rida dan piko.
“eh udah ada malika, acieeeee
airaaa” ucap rida menggoda aira.
“eh kamu ngapain disini ?” tanya
piko padaku.
“kerja kelompok” ucapku singkat.
“emang udah sembuh ?” tanyanya
kembali.
“yap” jawabku singkat.
“oh bagus deh haha” ucapnya
sambil memukul pelan kepalaku.
“aaaaw”
“eh masih sakit ?” tanyanya polos.
“sakit” jawabku singkat.
“katanya udah sembuh” ucapnya
heran.
“yaiyalah bego, kamu pukul”
timbal aira.
“oh iyaya haha” ucap pito seperti
tanpa dosa.
“kau kesini jam berapa lik ?”
tanya toni sambil mengambil satu kue tersisa di toples.
“jam delapan” jawabku.
“lah pagi banget ?” tanya toni
yang kemudian meminum kopiku.
“disuruh aira” jawabku sambil
memperhatikan toni.
“acieeeeee pengen berduaan dulu
yaaaa” goda rida ke aira.
“ih apaaan sih, engga kok. Kan
sengaja dia dateng lebih pagi biar aku jelasin dulu hasil kerja kelompok kita”
ucap aira mengelak.
“aaah masaaa. Iya gitu lik ?”
tanya rida.
“engga” ucapku.
“aaaaah kaaaaaan hahahaha” goda
rida semakin menjadi.
“iiih udah ah, kita mulai aja
kerja kelompoknya” ucap aira mengalihkan perhatian.
§
Waktu
menunjukkan pukul satu siang, kamipun berpamitan ke aira untuk pulang.
“eh lik, kamu disini aja dulu”
usul rida.
“ga ah, aku ada acara” jawabku.
“oh mau kencan ya, haha. Tuh aira
malik mau kencan haha” goda rida yang sedari kerja kelompok tak henti-hentinya
menggoda aira.
“iih apa sih” jawab aira dengan
ketus.
“daaaah”
akupun pergi duluan agar tak terkena godaan rida.
“eh si malik ya gak tahan tuh. Haha gimana
airaa” ucap rida yang tetap saja menggoda aira.
“iiiiiiih” aira semakin ketus.
“haha, sudah kami pulang ya” ucap
toni.
“iyaaa sayaaaaang” balas aira.
“eh awas yaaa” ucap rida kesal.
“haha gantian” .
Aku sendiri yang pulang terlebih dahulu,
memacu motorku dengan agak cepat. Karena aku pergi tidak pamit, dan ibu pun
belum menelfon berarti dia belum tahu aku pergi. Jika aku sampai di rumah lebih
cepat dari mereka, aku tak perlu membicarakan hal ini, selain itu awan pun
mulai mendung. Tanda akan segera mengeluarkan beban di tubuhnya. Namun tidak
jauh setelah keluar dari komplek perumahan aira, aku melihat ada kerumunan
orang. Aku yang penasaran menghentikan motorku dan menghampiri kerumunan itu.
DAN !!! begitu terkejutnya aku ketika melihat rifa yang dikerumuni dengan darah
keluar dari kaki dan meringis kesakitan. Sontak saja aku menerobos kerumunan.
“minggir minggir” ucapku kepada
orang-orang yang berkerumun.
Tanpa pikir panjang aku bopong rifa
menuju motorku, rifa yang terkejut hanya terdiam ketika melihat aku yang datang
dan membopongnya. Dengan segera aku bawa rifa ke rumah sakit tempat aku dirawat
dulu, memang jaraknya tidak jauh dan dekat dengan rumahku. Sesampainya dirumah
sakit, aku langsung memangku rifa, tidak membopongnya lagi takut lukanya
bertambah parah. Kebetulan ketika baru masuk aku bertemu suster imel yang
merawatku dulu.
“hai malik, eh itu siapa ? kenapa
?” tanya suster imel.
“tolongin ini suster” jawabku
dengan agak panik, sedangkan rifa hanya bisa terdiam saja.
Tanpa banyak berbincang suster
imelpun menuntunku ke sebuah ruangan, rifa masuk ke ruangan itu. Tak lama ada seorang
dokter yang masuk, kurang lebih 20menit, akhirnya rifa keluar dengan kaki di
perban. Akupun dengan sigap membopongnya keluar, lalu memacu motor meninggalkan
rumah sakit itu. sepanjang perjalanan kami saling diam mengunci kata di pikiran
kami. Hingga akhirnya di sebuah halte aku berhenti dan bertanya.
“rifa, rumah kamu dimana ? aku
gatau harus nganter kamu kemana” tanyaku dengan polos.
“eh masa lupa. Di komplek permai indah. Euh dasar pelupa.”
jawabnya.
“eh iyaya haha. Yaudah yuk”
jawabku sambil tertawa kecil.
“yuk”
Namun tak disangka, awan yang sedari
tadi murung menumpahkan semua kesedihannya saat itu juga. Aku terpaksa menunggu
awan ceria kembali di halte itu. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, saat itu
aku hanya diam terpaku di samping rifa. Rifa pun begitu, mengunci mulutnya
serapat-rapat mungkin. Hanya helaan nafas yang berbalas di antara kami.
Kurang lebih 20menit kami menunggu,
namun awan tak kunjung ceria, malah kesedihannya semakin menjadi. Aku melihat
jalanan mulai sepi, hari itu sama seperti hari pertama aku bertemu dengan rifa.
Tiba-tiba kudengar desah rifa yang kedinginan, rifa saat itu hanya mengenakan
rok terbuat dari jeans selutut dan kaos biru dengan lengan terbuka hingga ke
pundak. Tak pikir panjang akupun melepaskan jaket berwarna hitam yang kukenakan
dan kuberikan kepada rifa.
“eh” sontak rifa terkejut.
“pake aja, aku gerah” ucapku.
Tanpa pikir panjang rifa pun
mengenakan jaket itu. Entah kesedihan apa yang dialami awan hingga ia menjerit
sekeras-kerasnya. Airpun mulai menggenangi jalan. Sesekali genangan itu
terbelah oleh motor atau mobil yang melintas.
“malik ?” tanya rifa memecah
keheningan diantara kami.
“yap” ucapku sembari menatap ke
arah genangan air.
“kenapa kamu tadi nolong aku ?”
tanyanya.
“entahlah respon aja” jawabku.
“maksudnya ?” tanyanya bingung.
“ya tiba-tiba aja aku ketakutan,
dan pengen nolong kamu” jawabku.
“ketakutan ? kenapa ?” tanyanya.
“aku takut kamu kenapa-napa. Aku
takut kehilangan kamu” Jawabku.
“takut kehilangan ?” tanyanya
yang kini disertai goresan senyum di wajahnya.
“yap” jawabku.
“kamu itu aneh ya. Dan kamu itu
bikin aku bingung” ucapnya.
“bingung ? maksudnya ?” tanyaku.
“iya aku itu bingung sama sikap
kamu. Terkadang kamu sangat jutek, terkadang kamu itu bertingkah seperti orang
bodoh. Terkadang kamu seperti ini, begitu perhatian. Kamu itu terlalu abu-abu
untuk aku selami” jelasnya.
“emang aku pernah jutek ke kamu
?” tanyaku.
“sering kali, setiap pulang
sekolah kita papasan di lorong, kamu cuman menatapku dan berlalu begitu saja”
ucapnya dengan nada agak tinggi.
“oh entahlah aku juga bingung”
balasku singkat.
“belakangan ini kita udah makin
deket. Malah dari awal masuk sekolah kita sudah saling berucap. Sebenernya kamu
ngeliat aku kayak gimana ?” tanya rifa.
“entahlah aku bingung” ucapku
sambil melempar kerikil yang kutemui ke arah genangan air.
“kenapa bingung ?” tanyanya.
“entahla....” belum sempat aku
menyelesaikan jawabanku.
“aku ga butuh jawaban kamu cinta
atau engga ke aku. Aku cuman mau tau pandangan kamu ke aku kayak gimana”
ucapnya.
Sejenak aku terdiam, otakku sedang
memilih kata yang akan dikeluarkan mulutku.
“kau itu gadis aneh, aku sendiri
bingung denganmu. Satu waktu kau menjelma tulip merah yang meluluhkan keegoisan
lebah, namun satu waktu kau menjelma mawar yang melukai setiap mereka yang coba
menyentuhmu. Tapi satu yang tak bisa kupungkiri, aku nyaman denganmu. Bahkan
dengan menatap wajahmu saja itu sudah membuat kenyamanan yang begitu wah
dihatiku. Mungkin aku...”
“stop” ucapnya sambil menutup
bibirku dengan telunjuknya.
“cukup segitu aja yang pengen aku
tau, aku udah ngerti kok. Makasih ya ” ucapnya dengan gores senyum yang semakin
meninggi.
“eh kenapa” tanyaku.
“gapapa hehe” ucapnya, wajahnya
terlihat begitu manis dengan pipi yang memerah.
“sekarang aku. bagaimana
perasaanmu ke aku ?” tanyaku.
Sesaat dia diam seperti memikirkan
apa yang akan diucapkan. Kemudian tanpa berucap apa-apa dia tiba-tiba memeluk
tanganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku hanya tersenyum kecil
melihat tingkahnya. Dengan dia melakukan hal seperti itu, sudah lebih dari
cukup untuk aku mengetahui jawabannya.
Hujanpun mereda. Aku mengajak rifa
untuk pulang, perlahan kami menyusuri jalanan yang basah karena hujan.
Sepanjang perjalanan kami saling menceritakan kehidupan kami, sesekali dia
menggerutu karena ejekanku tentang dia yang pendek atau dia yang terkadang
seperti anak kecil. Namun tak jarang dia tertawa mendengar cerita kebodohanku
yang biasa diceritakan ibuku kepada temannya ketika arisan. Meski teman ibuku
sering mendengar cerita kebodohanku, namun malah mereka mengganggap aku orang
yang polos dan lucu ketimbang bodoh. Begitupun rifa, sepanjang perjalanan pun
dia tak pernah melepas pelukannya padaku.
“makasih yah buat hari ini” ucap
rifa.
“yap” jawabku singkat.
“yaudah, sampai ketemu lagi di
sekolah yah” jawabnya.
“yap dah” jawabku sambil pergi menjauh
dari rumahnya.
“eh ini jaketnya” teriaknya
padaku.
Namun aku acuhkan, biarkan nanti
saja dia kembalikan. Toh kita akan ketemu lagi, meski dengan perasaan yang
berbeda. Akupun memacu kendaraanku diiringi mentari yang tersenyum menghilangkan
duka awan.
No comments:
Post a Comment