Friday, November 16, 2012

Kenangan Tak Terlupakan (7.Cinta !!!)



 
           Cinta, itu ketika hidupmu hanya untuknya, ketika senyummu hanya karena tingkahnya, ketika sedihmu hanya karena lukanya, dan ketika bahagiamu karena bersamanya.
          Entah kenapa tulisan di sebuah buku itulah yang membuka lembar hariku hari ini. Buku yang berisi setiap curahan hatinya yang ia ciptakan untuk menggambarkan cinta yang dimilikinya untuk kekasih yang sangat ia cintai. Namun kebodohan dan keserakahan telah melepaskan cinta yang tulus untuknya. Hingga cinta itu menemukan galangan baru untuk ketulusannya. Dan ia, kini hanya mengemis berharap ada cinta tulus lagi untuknya.
§
          Ini hari ketiga aku mendekam di kamar. Sejak kejadian pekan olahraga siswa, ibu meminta kepadaku untuk beristirahat di rumah, meski sebenarnya ada tugas kelompok yang harus aku kerjakan. Namun teman-temankupun memintaku untuk beristirahat, terutama aira yang begitu perhatian hingga tak lupa menelfon setiap saat hanya untuk menanyakan pertanyaan yang sama tentang bagaimana keadaanku. Tapi hari ini aku putuskan untuk datang membantu teman-teman seatu kelompok. Kemudian aku mengambil telfon genggamku dan menghubungi aira lewat pesan singkat.
Aira, hari ini kerja kelompok jam berapa ? dimana ?
Dirumahku jam sepuluh, emang ada apa ?
Aku mau ikut kerja kelompok.
Lah emang udah sembuh ? emang udah boleh gerak ? ga usah ih mending di rumah aja istirahat kamu teh, ntar ada apa-apa.
Aku udah sembuh.
Ih serius kamu teh ? jangan dipaksain deh lagian udah mau selesai kok.
Iya.
Ih meni singkat, kamu kesini sama siapa ?
Sendiri aja kayaknya.
Ih kenapa sendiri ? emang mang akhmad kemana ?
Dia lagi pulang nengok anaknya yang sakit.
Nah kamu kesini naik apa ? aku jemput deh ya.
Ga usah, aku mau bawa motor.
Emang bisa naik motor ?
Bisa kok.
Euh yaudah deh, kamu kesininya jam delapanan aja ya.
Kok pagi banget ?
Ya biar aku jelasin dulu tugasnya sampe mana, nanti pas ada anak-anaknya jadi kamu ngerti, tinggal ngikutin. hehe
Oh yaudah.
Dadah malik :-*
           Aku bangkit dari pembaringanku dan menuju kamar mandi yang ada di kamarku. Setelah selesai mandi dan berpakaian kemudian aku menyiapkan buku pelajaran dan memasukannya ke dalam tas selendang, tak lupa buku gambar A4ku dan pensil. Lalu aku pergi ke dapur mencari bi sum, namun tak kutemukan. Yang kutemukan hanya mbak ina yang sedang menyiram tanaman.
“mbak, aku mau kerja kelompok dulu” ucapku meminta ijin.
“eh mas, emang udah sembuh ? udah bilang ke ibu sama bapak belum ?” tanyanya
“belum, ga lama kok. Kalo nyariin nanti suruh telfon aja, kalo ga nyariin ga usah di kasih tahu” ucapku.
“kok gitu mas ?” tanya mbak ina keheranan.
“gapapa” jawabku singkat.
         Kemudian aku  menghidupkan motor matic berwarna merah, kemudian kupacu motorku menyusuri jalanan. Rumahku dengan rumah aira tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 40menit. Aku menyusuri jalanan minggu pagi yang sepi, sengaja kupacu motorku tak lebih dari 40km/jam. Karena jarang sekali aku berpergian menggunakan motor, ternyata memang lebih menyenangkan menggunakan motor daripada mobil. Kau bisa merasakan hembus angin yang langsung menerpa sekujur tubuhmu, begitu menyejukkan. tak lama setelah memasuki jalan komplek akupun sampai di rumah aira.
Tengtong.... tengtong....
“hai malik, silahkan masuk” ucap aira yang menyambutku sendiri.
          Kumasukan motorku dan kuparkirkan di garasi aira.
“silahkan duduk, kamu mau minum apa ?” tanya aira.
“ah apa saja” jawabku singkat.
“euh, dasar. Susu ya ?” tanyanya.
“ah jangan, kopi saja, tapi yang ga ada ampasnya” jawabku.
“euh dasar katanya apa aja, yaudah tunggu sebentar ya” ucapnya sembari pergi dari hadapku.
         Rumah aira tidak begitu besar namun sangat terawat dan indah. pemanfaatan ruangannya begitu diperhatikan, ruang tamu dan ruang keluarga hanya dipisahkan oleh sebuah akuarium ikan yang berisi dua buah ikan arwana. Di halaman terdapat sebuah kolam kecil dan beberapa pohon buah-buahan. Di luar juga terdapat sebuah tangga yang menuju balkon di lantas dua sama seperti di rumahku, fungsinya adalah ketika ada tamu kita bisa mengajaknya berbincang di balkon lantai dua dengan udara segar. Tentu saja balkonnya dibuat agak besar.
“nih kopinya, oh iya ini ada kue biskuit bikinan aku kemarin. Coba deh” tawarnya dengan senyum manis.
“yap” jawabku sambil mengambil sepotong kue.
“gimana enak ?” tanyanya dengan mata berbinar berharap ucapan ya dariku.
“ywap” jawabku dengan mulut penuh kue.
“malik ?” tanyanya.
“ywap” jawabku sigkat.
“kamu lucu deh” ucapnya sambil melihat ke arah mukaku.
“hwm” jawabku dengan mulut yang tak henti mengunyah.
“malik kamu mau ga ?” tanyanya sambil mendekat ke arahku.
“apwha” tanyaku.
“kamu mau” belum sempat dia menyelesaikan ucapannya datang ayah dan ibunya.
“eh ada tamu” ucap ibunya.
“halo om tante. Saya malika” ucapku dengan cepat menghentikan makanku dan memperkenalkan diri sambil menjabat tangan ayah dan ibu aira.
“oh ini yang namanya malika, kami udah denger banyak. Malah sangat banyak dari aira hehe” ucap ayahnya.
“eh” ucapku bingung.
“aira dia cakep juga loh” ucap ibunya kepada aira.
“ih apaan sih mah, udah sana mau pada pergi mah. Bikin malu aja” ucap aira dengan muka yang mulai memerah.
“eh yang mau berduaan haha” ucap ibu aira menggoda.
“haha, yasudah yah malika. Kami tidak bisa lama-lama soalnya ada acara keluarga. Kamu ga usah sungkan, anggap saja di rumah sendiri ya.” Ucap ayahnya aira.
“iya om terima kasih” jawabku dengan penuh hormat.
“yaudah kita pergi dulu yaa, dah aira. Dah malikaaaaaa, haha” ucap ibunya sambil menatap ke arahku.
“yap” balasku sambil melambaikan tangan.
         Tak lama kamipun duduk kembali, aku kembali mengambil sepotong demi sepotong kue, tak lupa sesekali minum kopi yang dibuatkan aira.
“maaf ya tadi orang tua aku” ucap aira dengan malu-malu.
“ywap” jawabku dengan mulut yang sudah penuh dengan kue kembali.
“kamu lahap banget makannya, enak ya ? hehe” tanya aira.
“ywap, enwak bangwet” jawabku.
“hehe, maliiik” ucapnya sambil mulai menyandarkan kepalanya di bahuku.
“ywap” jawabku singkat sambil memegang toples kue dan terus mengunyah.
“dulu waktu pertama liat kamu, kamu itu kayak yang jutek, ga banyak omong. Malah temen aku bilang kalo kamu bisu” ucapnya.
“emwang kwapan kwamu ketwemu akwu” tanyaku sambil terus saja mengunyah.
“waktu masa orientasi siswa. Aku kan duduk pas banget di pinggir kanan kamu. Masa kamu ga tau iiiih. Ah iya ya kan kamu asik mandangin langit, sampe senior marahin kamu juga gak di denger” ucapnya ketus.
“owh kamwu ywang bwilang akwu kerwen ya ?” ucapku dengan mulut yang sudah tak terkendali.
“ih kok kamu tau ? aku kan bisik-bisik bilangnya. Emang kedengeran ?” tanyanya kaget.
“hwm” gumamku.
“euh dasar tukang nguping, hehe. Malik ?” tanyanya kembali.
“hwm” gumamku sambil mencoba untuk memasukkan satu potong kue ke dalam mulut agar lebih efisien dalam memakan.
“aku suka sama kamu” ucapnya singkat.
“glek eeeeeeee. eeeeeee” aku tersedak.
“kamu ih, meni sampe pura-pura keselek denger itu haha” ucapnya yang kini sudah memeluk erat tanganku.
“eeeeeee. Eeeeeee iiiiniiii” ucapku agak sulit.
“kenapa ? eh kamu keselek beneran. Iiiih maaaaaf kamu gapapa kaaaaan ?” tanyanya malah memperhatikan mukaku.
“miiiiinuuuuum” ucapku.
“eh iyaya bentar maaaf. Ini minum ini” ucapnya sambil mengambil kopi yang ada di meja.
“glek glek.... aaaaaaaah”
“maaaaf yaaaa” ucapnya dengan wajah tertunduk.
“yap” ucapku singkat sambil mencoba memakan kue kembali.
“kamu tuuuh yaaaaaaa, udah keselek masih aja makaaaan. Iiiiih ngegemesiiiiiin” ucapnya sambil mencubut perutku.
“ewh” ucapku sambil langsung menghindar.
“eh mau kemana, aku cubit aku cubiit haha”
“eh eh”
“haha iiiiih cubit lagi cubit lagiiii”
“eh eh”
           Ting tong.... ting tooong.... suara bel yang diikuti ucapan salam dari beberapa orang. aira pun keluar, tak lama dia kembali bersama toni, rida dan piko.
“eh udah ada malika, acieeeee airaaa” ucap rida menggoda aira.
“eh kamu ngapain disini ?” tanya piko padaku.
“kerja kelompok” ucapku singkat.
“emang udah sembuh ?” tanyanya kembali.
“yap” jawabku singkat.
“oh bagus deh haha” ucapnya sambil memukul pelan kepalaku.
“aaaaw”
“eh masih sakit ?”  tanyanya polos.
“sakit” jawabku singkat.
“katanya udah sembuh” ucapnya heran.
“yaiyalah bego, kamu pukul” timbal aira.
“oh iyaya haha” ucap pito seperti tanpa dosa.
“kau kesini jam berapa lik ?” tanya toni sambil mengambil satu kue tersisa di toples.
“jam delapan” jawabku.
“lah pagi banget ?” tanya toni yang kemudian meminum kopiku.
“disuruh aira” jawabku sambil memperhatikan toni.
“acieeeeee pengen berduaan dulu yaaaa” goda rida ke aira.
“ih apaaan sih, engga kok. Kan sengaja dia dateng lebih pagi biar aku jelasin dulu hasil kerja kelompok kita” ucap aira mengelak.
“aaah masaaa. Iya gitu lik ?” tanya rida.
“engga” ucapku.
“aaaaah kaaaaaan hahahaha” goda rida semakin menjadi.
“iiih udah ah, kita mulai aja kerja kelompoknya” ucap aira mengalihkan perhatian.
§
          Waktu menunjukkan pukul satu siang, kamipun berpamitan ke aira untuk pulang.
“eh lik, kamu disini aja dulu” usul rida.
“ga ah, aku ada acara” jawabku.
“oh mau kencan ya, haha. Tuh aira malik mau kencan haha” goda rida yang sedari kerja kelompok tak henti-hentinya menggoda aira.
“iih apa sih” jawab aira dengan ketus.
“daaaah” akupun pergi duluan agar tak terkena godaan rida.
 “eh si malik ya gak tahan tuh. Haha gimana airaa” ucap rida yang tetap saja menggoda aira.
“iiiiiiih” aira semakin ketus.
“haha, sudah kami pulang ya” ucap toni.
“iyaaa sayaaaaang” balas aira.
“eh awas yaaa” ucap rida kesal.
“haha gantian” .
          Aku sendiri yang pulang terlebih dahulu, memacu motorku dengan agak cepat. Karena aku pergi tidak pamit, dan ibu pun belum menelfon berarti dia belum tahu aku pergi. Jika aku sampai di rumah lebih cepat dari mereka, aku tak perlu membicarakan hal ini, selain itu awan pun mulai mendung. Tanda akan segera mengeluarkan beban di tubuhnya. Namun tidak jauh setelah keluar dari komplek perumahan aira, aku melihat ada kerumunan orang. Aku yang penasaran menghentikan motorku dan menghampiri kerumunan itu. DAN !!! begitu terkejutnya aku ketika melihat rifa yang dikerumuni dengan darah keluar dari kaki dan meringis kesakitan. Sontak saja aku menerobos kerumunan.
“minggir minggir” ucapku kepada orang-orang yang berkerumun.
           Tanpa pikir panjang aku bopong rifa menuju motorku, rifa yang terkejut hanya terdiam ketika melihat aku yang datang dan membopongnya. Dengan segera aku bawa rifa ke rumah sakit tempat aku dirawat dulu, memang jaraknya tidak jauh dan dekat dengan rumahku. Sesampainya dirumah sakit, aku langsung memangku rifa, tidak membopongnya lagi takut lukanya bertambah parah. Kebetulan ketika baru masuk aku bertemu suster imel yang merawatku dulu.
“hai malik, eh itu siapa ? kenapa ?” tanya suster imel.
“tolongin ini suster” jawabku dengan agak panik, sedangkan rifa hanya bisa terdiam saja.
           Tanpa banyak berbincang suster imelpun menuntunku ke sebuah ruangan, rifa masuk ke ruangan itu. Tak lama ada seorang dokter yang masuk, kurang lebih 20menit, akhirnya rifa keluar dengan kaki di perban. Akupun dengan sigap membopongnya keluar, lalu memacu motor meninggalkan rumah sakit itu. sepanjang perjalanan kami saling diam mengunci kata di pikiran kami. Hingga akhirnya di sebuah halte aku berhenti dan bertanya.
“rifa, rumah kamu dimana ? aku gatau harus nganter kamu kemana” tanyaku dengan polos.
“eh masa lupa. Di komplek permai indah. Euh dasar pelupa.” jawabnya.
“eh iyaya haha. Yaudah yuk” jawabku sambil tertawa kecil.
“yuk”
         Namun tak disangka, awan yang sedari tadi murung menumpahkan semua kesedihannya saat itu juga. Aku terpaksa menunggu awan ceria kembali di halte itu. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, saat itu aku hanya diam terpaku di samping rifa. Rifa pun begitu, mengunci mulutnya serapat-rapat mungkin. Hanya helaan nafas yang berbalas di antara kami.
         Kurang lebih 20menit kami menunggu, namun awan tak kunjung ceria, malah kesedihannya semakin menjadi. Aku melihat jalanan mulai sepi, hari itu sama seperti hari pertama aku bertemu dengan rifa. Tiba-tiba kudengar desah rifa yang kedinginan, rifa saat itu hanya mengenakan rok terbuat dari jeans selutut dan kaos biru dengan lengan terbuka hingga ke pundak. Tak pikir panjang akupun melepaskan jaket berwarna hitam yang kukenakan dan kuberikan kepada rifa.
“eh” sontak rifa terkejut.
“pake aja, aku gerah” ucapku.
         Tanpa pikir panjang rifa pun mengenakan jaket itu. Entah kesedihan apa yang dialami awan hingga ia menjerit sekeras-kerasnya. Airpun mulai menggenangi jalan. Sesekali genangan itu terbelah oleh motor atau mobil yang melintas.
“malik ?” tanya rifa memecah keheningan diantara kami.
“yap” ucapku sembari menatap ke arah genangan air.
“kenapa kamu tadi nolong aku ?” tanyanya.
“entahlah respon aja” jawabku.
“maksudnya ?” tanyanya bingung.
“ya tiba-tiba aja aku ketakutan, dan pengen nolong kamu” jawabku.
“ketakutan ? kenapa ?” tanyanya.
“aku takut kamu kenapa-napa. Aku takut kehilangan kamu” Jawabku.
“takut kehilangan ?” tanyanya yang kini disertai goresan senyum di wajahnya.
“yap” jawabku.
“kamu itu aneh ya. Dan kamu itu bikin aku bingung” ucapnya.
“bingung ? maksudnya ?” tanyaku.
“iya aku itu bingung sama sikap kamu. Terkadang kamu sangat jutek, terkadang kamu itu bertingkah seperti orang bodoh. Terkadang kamu seperti ini, begitu perhatian. Kamu itu terlalu abu-abu untuk aku selami” jelasnya.
“emang aku pernah jutek ke kamu ?” tanyaku.
“sering kali, setiap pulang sekolah kita papasan di lorong, kamu cuman menatapku dan berlalu begitu saja” ucapnya dengan nada agak tinggi.
“oh entahlah aku juga bingung” balasku singkat.
“belakangan ini kita udah makin deket. Malah dari awal masuk sekolah kita sudah saling berucap. Sebenernya kamu ngeliat aku kayak gimana ?” tanya rifa.
“entahlah aku bingung” ucapku sambil melempar kerikil yang kutemui ke arah genangan air.
“kenapa bingung ?” tanyanya.
“entahla....” belum sempat aku menyelesaikan jawabanku.
“aku ga butuh jawaban kamu cinta atau engga ke aku. Aku cuman mau tau pandangan kamu ke aku kayak gimana” ucapnya.
          Sejenak aku terdiam, otakku sedang memilih kata yang akan dikeluarkan mulutku.
“kau itu gadis aneh, aku sendiri bingung denganmu. Satu waktu kau menjelma tulip merah yang meluluhkan keegoisan lebah, namun satu waktu kau menjelma mawar yang melukai setiap mereka yang coba menyentuhmu. Tapi satu yang tak bisa kupungkiri, aku nyaman denganmu. Bahkan dengan menatap wajahmu saja itu sudah membuat kenyamanan yang begitu wah dihatiku. Mungkin aku...”
“stop” ucapnya sambil menutup bibirku dengan telunjuknya.
“cukup segitu aja yang pengen aku tau, aku udah ngerti kok. Makasih ya ” ucapnya dengan gores senyum yang semakin meninggi.
“eh kenapa” tanyaku.
“gapapa hehe” ucapnya, wajahnya terlihat begitu manis dengan pipi yang memerah.
“sekarang aku. bagaimana perasaanmu ke aku ?” tanyaku.
          Sesaat dia diam seperti memikirkan apa yang akan diucapkan. Kemudian tanpa berucap apa-apa dia tiba-tiba memeluk tanganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkahnya. Dengan dia melakukan hal seperti itu, sudah lebih dari cukup untuk aku mengetahui jawabannya.
         Hujanpun mereda. Aku mengajak rifa untuk pulang, perlahan kami menyusuri jalanan yang basah karena hujan. Sepanjang perjalanan kami saling menceritakan kehidupan kami, sesekali dia menggerutu karena ejekanku tentang dia yang pendek atau dia yang terkadang seperti anak kecil. Namun tak jarang dia tertawa mendengar cerita kebodohanku yang biasa diceritakan ibuku kepada temannya ketika arisan. Meski teman ibuku sering mendengar cerita kebodohanku, namun malah mereka mengganggap aku orang yang polos dan lucu ketimbang bodoh. Begitupun rifa, sepanjang perjalanan pun dia tak pernah melepas pelukannya padaku.
“makasih yah buat hari ini” ucap rifa.
“yap” jawabku singkat.
“yaudah, sampai ketemu lagi di sekolah yah” jawabnya.
“yap dah” jawabku sambil pergi menjauh dari rumahnya.
“eh ini jaketnya” teriaknya padaku.
           Namun aku acuhkan, biarkan nanti saja dia kembalikan. Toh kita akan ketemu lagi, meski dengan perasaan yang berbeda. Akupun memacu kendaraanku diiringi mentari yang tersenyum menghilangkan duka awan.

No comments:

Post a Comment